BETULKAH MUSIK REBANA BIANG TERPINGGIRKAN ?

Megapolitan Jakarta dulu populer disebut Betawi, merupakan gudang kesenian rakyat (folklore) yang banyaK bertebaran diseantero ruang dan waktu. Khasanah kesenian Betawi berkembang pada zamannya tak hanya jenis seni pertunjukan panggung seperti Lenong, Tari, Silat, Cokek, dll. Tetapi banyak pula dijumpai jenis seni musik rakyat semisal Tanjidor, Gambang Kromong, Samrah, Gambus, Rebana, dll.

Penyebaran jenis kesenian tersebut merata dari pusat kota hingga ke pinggiran. Jenis musik khas Betawi pun seabreg. Salah satunya Rebana yang juga bervariasi. Ada Rebana Biang, Rebana Burdah, Rebana Maukhid, Rebana Kasidah, Rebana Dor, Rebana Hadroh, Rebana Maulid, Rebana Ketimpring, dll.

rebana_besar_1.jpg

Disebut Rebana Biang, karena bentuknya yang besar. Jenis musik perkusi dan bermembran ini biasa dimainkan di kampung-kampung, di Masjid, Surau dan tempat-tempat lainnya yang memungkinkan bisa diakses untuk menghibur. Mengiringi berbagai permainan dengan nyanyian dan gerak tari. Di Betawi, permainan rebana biasanya dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu kasidah dan seringkali dalam berbagai keriyaan yang bertalian dengan budaya Islam, seperti Mauludan, Lebaran, Khitanan, Pernikahan, dan lain-lain. Ada perndapat yang mengatakan Rebana berasal dari kata Robbana yang berarti Tuhan kami. Karena di Betawi tempo dulu, Rebana ditabuh dalam kaitannya dengan Islam. Diluar Betawi, Rebana juga berkembang luas dan disebut Terbang.

Selain Rebana Biang yang berukuran gede bergaris tengah mencapai 20 s/d 25 Cm, juga masih ada Rebana Ketimpring berukuran sedang dan pinggirannya terdapat ombyokan logam berbentuk bulat tipis. Kalau ditabuh, ombyokan logam bulat tipis itu menimbulkan suara cring….cring…..cring…. Selain itu ada jenis rebana lainnya seperti Rebana Jati, Rebana Rakep, Rebana Gedak, dan banyak lagi nama Rebana-rebana lainnya menurut istilah dan fungsinya bagi masyarakat Betawi tempo dulu menjadi kegembiraan dan kebanggaan. Rebana Jati – untuk upacara-upacara, Rebana Rakep – untuk mengarak/mengiringi pengantin, Rebana Gedak – mempergunakan pantun Indonesia.

Diluar Betawi pun didapati Rebana. Perkembang pesat di pesisir pantai Utara. Semisal di kawasan Sunan Gunungjati Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal hingga Semarang. Di kota-kota tersebut dijumpai ragam Rebana yang disebut Terbang Kentrung karena bila ditabuh menimbulkan bunyi : drung dung drung…. Drung dung drung…… di tindih nyanyian puji-pujian terhadap Nabi Muhamad, dan jelas bernuansa Islami. Juga Terbang Kenjring yang bunyinya tong tang tong jring, tong jring tong jring …… Biasanya adat menabuh terbang kendrung mau pun Genjring di kawasan pantai Utara untuk menyemarakkan hajatan, mengarak pengantin dan acara khitanan atau keramaian lainnya pada upacara Mauludan.

Musik Rebana juga berkembang jauh diluar Jawa, diseantero Nusantara. Antara lain di Jambi, Palembang, Riau, Sumatera Barat, dll. Agaknya Rebana atau apapun nama dan istilahnya banyak dijumpai di tengah komunitas masyarakat pemeluk Islam. Konon dalam sejarah pengembangnnya, musik Rebana berasal dari Timur Tengah atau jazirah padang pasir Arabia. Di Mesir dan Iran, Rebana berbentuk gendang dan seruling untuk mengiringi tari perut. Seni musik Rebana masuk kawasan nusantara dibawa atau diperkenalkan oleh para pedagang Arab yang tinggal di sepanjang pesisir pantai Indonesia. Dari sanalah Rebana berkembang hingga

indonesia_a05_rebanabiang.jpg

Dalam buku “SENI BUDAYA BETAWI (Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya)” terbitan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Rebana terkesan masih menjadi perdebatan sengit yang mempermasalahkan asal-usulnya. Ada yang setengah ragu menentukan dari mana sebetulnya asal-usul Rebana Betawi yang di diklaim sebagai produk masyarakat Betawi. Ada yang berpendapat, seni musik Rebana masih didapati unsur Bali, karena pelaku atau seniman Rebana banyak yang mengaku berasal dari Bali.

Pendapat lain bersiteguh mengatakan, Rebana menurut perkembangannya diciptakan oleh Pak Saiman dari aspirasinya ketika air hujan rintik-rintik diatap rumahnya yang bocor. Namun pernyataan tersebut tidak akurat. Tidak disinggung siapa itu Pak Saiman, dimana tempat tinggalnya dan sejak kapan memperkenalkan kepada khalayak dan kapan mulai dikembangkan.

“Kendati pun musik rakyat banyak dipengaruhi dari luar”, kata Iskandar, pakar seniman Betawi, “Tetapi tetap melalui proses pengembangan dan pengolahan untuk bisa diterima”. Dikatakan pula Rebana bukanlah pengaruh dari Bali, tetapi pengaruh dari Arab, terutama karena lagu-lagu pujaan /pujian terhadap nilai yang diiringi dengan rebana. Kendati pun di Arab tidak ada jenis musik yang dinamakan Rebana.

Asal-usul Rebana memang masih simpang-siur karena disana-disi masih saja muncul perbedaan pendapat di kalangan pakar kesenian Betawi. Tetapi dalam alam demokrasi kita pun harus menghargai pendapat yang berbeda. Karena tidak selalu pendapat berbeda itu negatif bahkan saling mewarnai ibarat warna pelangi yang beraneka ragam yang tampak indah. Tetapi Haji Azis, salah satu tokoh Betawi, bersikap netral. Dari pada repot memikirkan dari mana asal-usul musik tersebut, ia mengatakan bahwa yang perlu diketahui oleh berbagai pihak ialah fungsi Rebana itu sendiri yang tingkatannya. Pertama untuk mengiringi sejarah Maulud yang diambil dari Kitab Syariful Aman, kedua menjelaskan Kitab Giba, ketiga menjelaskan Kitab Burdah dan keempat Maulid Nabi. Jadi semua itu sebagai pengiring pantun lahirnya Nabi Muhammad,

Pendapat lain menjelaskan, Rebana bukan berasal dari Bali, atau bukan dari Betawi. Tetapi berasal dari daerah Sumatera Selatan, yang berfungsi untuk upacara-upacara, salah satunya Maulud dan lain-lain. Sebagai alat musik pengiring nyanyian yang mempergunakan prosa-prosa Arab tinggi (bukan ayat-ayat Al Quran) karena mulanya Rebana banyak digelar di Masjid-masjid, Surau dan di tengah komunitas Muslim. Walaupun musik Rebana lebih kencang ditindih puji-pujian yang memuliakan asma Allah dan menggunakan bahasa Arab, namun ada pula yang mengatakan Rebana bukan dari Timur Tengah.

FX Haryadi, salah seorang musikolog yang saat hidupnya nongkrong di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, mengatakan hakekat folklore musik, yang terpenting ialah hubungan antara musik dan lingkungannya (tanah-rakyat-seni). Yang dimaksud dengan pendukung folklore musik itu sendiri dapat dibedakan :

  penduduk Jakarta Kota

penduduk Jakarta pinggiran, dan bagaimana kemudian seluruh penduduk itu bisa terintegrasi. Masalah pengaruh atau asal muasal bukanlah persoalan yang mesti diperdebatkan.

Banyak diantara pakar dan seniman Betawi yang menghendaki agar kesenian Betawi salah satunya seni musik Rebana Biang dikembangkan dan dilestarikan agar tak lenyap dari permukaan kota Jakarta. Tetapi zaman terus berubah dan bergeser sekian derajat. Sehingga apa yang diharapkan meleset adanya. Gerak Rebana Biang di kota yang dulu kencang disebut Betawi kian ciut dan terpinggirkan. Pusat-pusat kegiatan berseni musik Rebana Biang di Ciganjur, Cijantung, Cakung, Cise’eng, Parung, Pondok Rajeg, Bojong Gede, Citayam, Condet, Lubang Buaya, Sugih Tamu, Pondok Cina, Bintaro, dan Curug dekat Depok, ternyata sudah banyak yang sirna.

Umumnya grurp-grup Rebana Biang, yang dekat di lingkungan perkotaan, seperti Rebana Biang Ciganjur, lebih banyak memiliki perbendaharaan lagu-lagu dzikir berbahasa Arab atau lagu-lagu yang linknya berbahasa Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi senimannya sendiri kurang dipahami artinya. Tetapi makin terpinggirnya musik Rebana Biang dari kehiruk-pikukan Megapolitan Jakarta, bukan berarti habis sudah. Karena jenis musik tersebut masih bisa didengar sekali-sekali ketika orang merayakan HUT Jakarta. (Tjok Hendro) ***

Anak Blasteran : Ulang Tahun ke – 8

alif.jpg

Delapan tahun lalu, atau tepatnya 30 Januari 2000, anak pertama yang dinanti-nantikan lahir juga. Alhamdulillah, sehat dan sempurna, Muhammad Alif Gibran Alkasviz, begitulah nama yang kuberikan untuknya.

Kini, usianya sudah 8 tahun dan duduk di kelas dua SD. Penuh perjuangan istriku mendapatkannya. Setelah didera keguguran dua kali. Kali yang pertama saat usia kandungan 3 bulan dan kedua juga usia kandungan yang sama, pada saat umat Islam menjelang Iedul Fitri, tepatnya saat-saat melakukan sholat ied, istriku yang keturunan ambon – madura – arab, sedang berjuang mempertahankan si jabang bayi.

Keterbatasan manusia dan terutama kehendakNyalah, aku dan istriku gagal lagi mempunyai anak. kasihan dan sedih juga melihat istriku berjuang mempertahankannya. Ternyata setelah didiagnosis, kandungan istriku trkena virus toksoplasma.

Alief yang lucu dan badannya alhamdulillah sehat dan besar (gemuk) beratnya kini 30-an kilogram. kadang juga menjengkelkan, tetapi itulah seninya.

Selamat ulang tahun anakku semoga menajdi anak yang sholeh dan membanggakan

SUKU BETAWI

ben02thumb7yg.jpg

Suku Betawi sebenarnya termasuk dalam kategori pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnik ini lahir dari pelbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Ahli Antropologi Universiti Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnik Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah dipengaruhi kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkahwinan berbagai budaya yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara dan juga kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni muzik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berasal dari tradisi muzik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatar belakangkan Belanda.

Secara biologi, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil perkahwinan campur antara etnik dan bangsa di masa lalu.

Seorang budak belian perempuan dari Bali. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Melaka di semenanjung Tanah Melayu, bahkan dari China serta Gujerat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sehingga JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Cina, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 sempadan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar kubu dan tembok kota tidak aman, antara lain kerana gerila Banten dan sisa tentera Mataram (1628/29) yang tidak mahu pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah bersekutu.

Ketika akhir abad ke-17, daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, jumlah orang Belanda masih sedikit. Ini disebabkan hingga pertengahan abad ke-19, wanita Belanda tidak ramai yang ikut serta. Akibatnya, banyak perkahwinan campur berlaku dan melahirkan sejumlah orang Indo di Batavia.

 

Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya. Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia. Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656.

Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.

Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu.

Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan bancian, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data bancian penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil bancian tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan.

Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data bancian tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas.

Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara. (id.wikipedia.org)

 

Musik Betawi

DALAM dunia musik Betawi terdapat perbauran yang harmonis antara unsur priburni dengan unsur Cina, dalam bentuk orkes gambang kromong yang tampak pada alat-alat musiknya. Sebagian alat seperti gambang,kromong, kemor, kecrek, gendang, kempul dan gong adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek Cina yakni kongahyan, tehyan, dan skong. Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu Cina yang disebut pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhwa, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental. Terbentulknya orkes gambang kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-kong, seorang pemimpin golongan Cina
Pada pertengahan abad ke- delapan belas di Jakarta, yang dikenal sebagai penggemar musilk. Atas prakarsanyalah terjadi penggabungan alat-alat musik yang biasa terdapat dalarn gamelan pelog slendro dengan yang dari Tiongkok. Terutama orang- orang peranakan Cina, seperti halnya Nie Hu-kong, lebih dapat menikmati tarian dan nyanyian para ciokek, yaitu para penyanyi ciokeks merangkap penari pribumi yang biasa diberi nama bunga-bunga harurn di Tiongkok, seperti Bwee Hoa, Han Siauw, Hoa, Han Siauw dan lain-lain. Pada masa-masa lalu orkes garnbang kromong hanya dimiliki oleh babah- babah peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang dan Bekasi, selain di Jakarta sendiri.
cokekpreviewdm8Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi tari pertunjukan kreasi baru, pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan sebagainya, disamping sebagai pengiring tari pergaulan yang disebut tari cokek. Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irarna garnbang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki.
Setelah itu mereka Setelah itu mereka untuk menari bersarna,dengan mengalungkan selendang pertama-tama kepada tarnu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.
Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk ronde bergoyang-goyang. Orkes gambang kromong biasa pula mengiringi teater lenong. Teater rakyat Betawi ini dalam beberapa segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul, komedi ala Barat berbahasa Melayu, yang berkernbang pada awal abad ke- duapuluh.
Dewasa ini dikenal dua macam lenong. Bila yang dibawakan adalah cerita- cerita kerajaan atau cerita bangsawan, disebut lenong denes, sedang bila ceritanya diangkat dari kehidupanrakyat atau jagoan disebut lenong preman. Lenong denes dapat dianggap sebagai pekembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini telah punah, yaitu wayang sumedar, senggol, dan wayang dermuluk. Sedang lenong preman adalah perkembangan dari wayang sironda. Bahasa yang dipergunakan dalam lenong denes adalah bahasa Melayu Tinggi, yaitu variasi bahasa Melayu ihalusi yang struktur dan perbendaharaan katanya bersifat Malayu Klasik. Bahasa yang dipergunakan dalam lenong preman adalah dialek Betawi sehari- hari, sehingga sangat kornunikatif dan akrab dengan penontonnya.
Pengaruh Eropa yang kuat pada salah satu bentuk musik rakyat Betawi, tampak jelas pada orkes tanjidor, yang biasa menggunakan klarinet, trombon, piston, trompet dan sebagainya. Alat-alat musik tiup yang sudah berumur lebih dari satu abad masih banyak digunakan oleh grup-grup tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada masa jayanya penguasa kolonial [tempo doeloe] Dengan alat-alat setua itu tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi helaran atau arak-arakan pengantin Membawakan lagu-lagu barat berirama imarsi dan [Wals] yang susah sulit dilacak asal-usulnya, karena telah disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan panjaknya dari generasi kegenerasi. Orkes tanjidor mulai timbul pada abad ke 18. VaIckenier, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda pada jaman itu tercatat memiliki sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang pemain alat musik tiup, digabungkan dengan pemain gamelan, pesuling Cina dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta. Karena biasa dimainkan oleh budak-budak, orkes demikian itu dahulu disebut Slaven-orkes. Dewasa ini tanjidor sering ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu dan untuk memeriahkan arak-arakan.
Musik Betawi lainnya yang banyak memperoleh pengaruh Barat adalah kroncong tugu yang konon berasal dari Eropa Selatan. Sejak abad ke 18 musik ini berkembang di kalangan Masyarakat Tugu, yaitu sekelompok masyarakat keturunan golongan apa yang disebut Mardijkers, bekas anggota tentara Portugis yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka ditempatkan di Kampung Tugu, dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dengan jemaat dan gereja tersendiri yang dibangun pertama kali pada tahun 1661. Pada masa-masa yang lalu keroncong ini dibawakan sambil berbiduk-biduk di sungai di bawah sinar bulan, disamping untuk pertunjukan, bahkan untuk mengiringi lagu-lagu gerejani.
Alat-alat musik keroncong tugu masih tetap seperti tiga abad yang lalu, terdiri dari keroncong, biola, ukulele, banyo, gitar, rebana, kernpul, dan selo. Dalam hal kosturn ada satu hal yang unik, yaitu tiap mengadakan pertunjukan dirnana saja dan kapan saja, para pernainnya selalu mengenakan syal yang dililitkan pada leher masing-masing. Sedangkan para pemusik wanita mengenakan kain kebaya.
Musik Betawi yang berasal dari Timur Tengah adalah orkes gambus. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya untuk memeriahkan pesta perkawinan, orkes gambus digunakan untuk mengiringi tari zafin, yakni tari pergaulan yang lazimnya hanya dilakukan oleh kaum pria saja. Tetapi sekarang ini sudah mulai ada yang mengembangkannya menjadi tari pertunjukan dengan mengikutsertakan penari wanita. Di samping orkes gambus, musik Betawi yang menunjukkan adanya pengaruh Timur Tengah dan bernafaskan agama Islam adalah berbagai jenis orkes rebana. Berdasarkan alatnya, sumber sair yang dibawakannya dan latar belakang sosial pendukungnya rebana Betawi terdiri dari bermacam-macam jenis dan nama, seperti rebana ketimpring, rebana ngarak, rebana dor dan rebana biang. Sebutan rebana ketimpring mungkin karena adanya tiga pasang kerincingan yakni semacam kecrek yang dipasang pada badannya yang terbuat dari kayu. Kalau rebana Ketimpring digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, misainya mengarak pengantin pria menuju rurnah mempelainya biasanya disebut rebana ngarak, disamping ada yang menggunakan rebana khusus untuk itu, yang ukurannya lebih kecil. Syairsyair yang dinyanyikan selarna arak-arakan antara lain diarnbil dari kitab Diba atau Diwan Hadroh.
Rebana ketimpring yang digunakan untuk mengiringi perayaan – perayaan keluarga seperti kelahiran, khitanan, perkawinan dan sebagainya, disebut rebana maulid. Telah menjadi kebiasaan di kalangan orang Betawi yang taat kepada agarnanya untuk membacakan syair yang menuturkan riwayat Nabi Besar Muhammad SAW. sebagai acara utamanya yang sering kali diiringi rebana maulid. Syair-syair pujian yang biasa disebut Barjanji, karena diambil dari kitab Syaraful Anam karya Syeikh Barzanji.
Rebana dor biasa digunakan mengiringi lagu lagu atau yalil seperti Shikah, Resdu, Yaman Huzas dan sebagainya. Rebana kasidah (qosidah) seperti keadaannya dewasa ini merupakan perkernbangan lebih lanjut dari rebana dor. Lirik lirik lagu yang dinyanyikannya tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan banyak pula yang berbahasa Indonesia. Berlainan dengan jenis jenis rebana lainnya, pada rebana qasidah dewasa ini sudah lazim kaum wanita berperan aktif, baik sebagai penabuh maupun sebagai pembawa vokal. Dengan dernikian rebana kasidah lebih menarik dan sangat populer.
Orkes rebana biang di samping untuk membawakan lagu berirama cepat tanpa tarian yang disebut lagu-lagu zikir, biasa pula digunakan untuk mengiringi tari belenggo. sebagaimana umumnya tarian rakyat, tari belenggo tidak memiliki pola tetap. Gerak tarinya tergantung dari perbendaharaan gerak-gerak silat yang dimiliki penari bersangkutan. Biasanya tari belenggo dilakukan oleh anggota grup rebana biang sendiri secara bergantian. Kalau pada masa-masa lalu tari belenggo hanya merupakan tari kelangenan, dewasa ini sudah berkembang menjadi tari pertunjukan dengan berpola tetap. Di samping itu orkes rebana biang biasa digunakan sebagai pengiring topeng belantek yaitu salah satu teater rakyat Betawi yang hidup di daerah pinggiran Jakarta bagian Selatan.
Orkes samrah berasal dari Melayu sebagaimana tampak dari lagu-lagu yang dibawakan seperti lagu Burung Putih, Pulo Angsa Dua, Sirih Kuning, dan Cik Minah dengan corak Melayu, disamping lagu lagu khas Betawi, seperti Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya. Tarian yang biasa di iringi orkes ini disebut Tari Samrah. Gerak tariannya menunjukkan persarnaan dengan umumnya tari Melayu yang mengutamakan langkah langkah dan lenggang lenggok berirama, ditarnbah dengan gerak-gerak pencak silat, seperti pukulan, tendangan, dan tangkisan yang diperhalus. Biasanya penari samrah turun berpasang-pasangan. Mereka menari diffingi nyanyian biduan yang melagukan pantun-pantun bertherna percintaan dengan ungkapan kata-kata merendahkan diri seperti orang buruk rupa hina papa tidak punya apa-apa
Tari Betawi yang sepenuhnya merupakan aneka gerak pencak silat disebut tari silat. Tari ini ada yang diiringi tabuhan khusus yang disebut gendang pencak. Iringan lainnya yang juga bisa digunakan ialah garnbang kromong, gamelan topeng dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Betawi terdapat berbagai aliran silat seperti aliran Kwitang, aliran Tanah Abang, aliran Kemayoran dan sebagainya. Gaya-gaya tari silat yang terkenal antara lain gaya seray, gaya pecut, gaya rompas dan gaya bandul. Tari silat Betawi menunjukkan aliran atau gaya yang diikuti penarinya masing-masing.
Pada gamelan ajeng, di samping ada pengaruh Sunda juga tampak adanya unsur Bali seperti pada salah satu lagu yang biasa diiringinya yang disebut lagu Carabelan atau Cara Bali. Pada awainya garnelan ini bersifat mandiri sebagai musik upacara saja. Dalarn perkembangan kemudian biasa digunakan untuk mengiringi tarian yang disebut Belenggo Ajeng atau Tar! Topeng Gong. Orkes ini juga berfungsi sebagai pengiring wayang kulit atau wayang wong yaitu salah satu unsur kesenian Jawa yang diadaptasi oleh masyarakat Betawi terutama di pinggiran Jakarta.
Musik Betawi lainnya yang banyak menyerap pengaruh Sunda adalah gamelan topeng. Disebut dernikian karena gamelan tersebut digunakan untuk mengiringi pagelaran teater rakyat yang kini dikenal dengan sebutan topeng Betaw Popularitas topeng Betawi bagi masyarakat pendukungnya adalah kemampuannya untuk menyampaikan kritik social yang tidak terasa mengpenggeli hati. Salah satu contohnya adalah lakon pendek Bapak jantuk, tampil pada bagian akhir pertunjukan yang sarat dengan nasehat- nasehat bagi ketenteraman berumah tangga. Di antara tarian-tarian yang biasa disajikan topeng Betawi adalah Tari Lipetgandes, sebuah tari yang dijalin dengan nyanyian, lawakan dan kadang-kadang dengan sindiran-sindiran tajam menggigit tetapi lucu. Tari- tari lainnya cukup banyak memiliki ragam gerak yang ekspresif dan dinamis, seperti Tari Topeng Kedok, Enjot-enjotan dan Gegot. Tari-tarian tersebut bukan saja digemari oleh para pendukung aslinya, tetapi juga telah banyak mendapat tempat di hati masyarakat yang lebih luas, termasuk kelompok etnis lain.
Beberapa penata tari kreatif telah berhasil menggubah beberapa tari kreasi baru dengan mengacu pada ragam gerak berbagai tari tradisi Betawi, terutama rumpun Tari Topeng. Tari kreasi baru itu antara lain adalah Tari Ngarojeng, Tari Ronggeng Belantek, Gado-gado Jakarta. Karya tari ini ternyata mampu memukau penonton, bahkan juga sampai pada Forum Internasional yaitu dalam Festival Tari Antar Bangsa.. Berbagai seni pertunjukan tradisional Betawi telah berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan masyarakat pendukungnya serta merupakan daya pesona tersendiri pada wajah kota Jakarta Untuk dapat menilkmati dan menilainya tiada cara lain yang lebih tepat kecuali menyaksikannya sendiri.

kotatua.blogspot.com

Musik Tradisional Betawi

 

Penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogin. Kesenian Betawi lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada di Betawi. Seni musik Betawi tidak terhindar dari proses perpaduan itu. Dalam musik Betawi kental pengaruh Barat, Tionghoa, Arab, Melayu, Sunda, dan lain-lain.

Musik tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke 14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis ada kata tanger. Kata tanger artinya memainkan alat musik. Memainkan alat musik ini dilakukan pada pawai militer atau upacara keagamaan. Kata tanger itu kemudian diucapkan menjadi tanjidor.

Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya.

Sejarawan Belanda bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kompeni. Pada abad ke 18 kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota Batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis.

Di villa-villa inilah terdapat budak. Budak-budak itu mempunyai keahlian. Di antaranya ada yang mampu memainkan alat musik. Alat musik yang mereka mainkan antara lain : klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan makan.

Perbudakan dihapuskan tahun 1860. Pemain musik yang semula budak menjadi orang yang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu bermain musik, mereka membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.

Musik tanjidor sangat jelas dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan antara lain : Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu tanjidor bertambah dengan membawakan lagu-lagu Betawi. Dapat dimainkan lagu-lagu gambang kromong, seperti : Jali-Jali, SurilangSiring Kuning, Kicir-Kicir, Cente Manis, stambul, dan persi.

Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda.

Pada tahun 1950-an orkes tanjidor melakukan pertunjukan ngamen. Khususnya pada tahun baru masehi dan tahun baru Cina (imlek). Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah. Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elite, seperti : Menteng, Salemba, Kebayoran Baru. Daerah yang penduduknya orang Belanda. Atau daerah lain yang penduduknya memeriahkan tahun baru. Pada tahun baru Cina biasanya tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai perayaan Capgomeh, yaitu pesta hari ke-15 imlek.

Pada tahun 1954 Pemda Jakarta melarang tanjidor ngamen ke dalam kota. Alasan pelarangan tidak diketahui. Pelarangan ngamen membuat seniman tanjidor kecewa. Sebab pendapatan mereka jadi berkurang. Mereka hanya menunggu panggilan untuk memeriahkan hajatan atau pesta rakyat.

Sampai saat ini grup-grup tanjidor masih bersifat amatir. Mereka main kalau ada panggilan. Grup tanjidor yang kini menonjol adalah Putra Mayangsari pimpinan Marta Nyaat di Cijantung Jakarta Timur dan Pusaka pimpinan Said di Jagakarsa Jakarta Selatan.

Rebana Biang

Kong Sa’anan seniman rebana biang. Umurnya 90 tahun. Tinggal di Bojong Gede Depok. Dia generasi ke-9 dari keluarga seniman rebana biang. Meski sudah tua dia selalu bersemangat jika diajak bicara rebana biang.

Menurut Kong Sa’anan rebana biang sampai di Betawi dibawa oleh pasukan Mataram pimpinan Sultan Agung. Ketika itu rebana biang berfungsi sebagai hiburan dan sarana melakukan kegiatan tarekat. Namun diperkirakan rebana biang sudah ada sebelum Agama Islam.

Disebut rebana biang karena salah satu rebananya berbentuk besar. Rebana biang terdiri dari tiga buah rebana. Ketiga rebana mempunyai nama. Yang kecil bergaris tengah 30 cm diberi nama gendung. Yang berukuran sedang bergais tengah 60 cm dinamai kotek. Yang paling besar bergaris tengah 60 – 80 cm dinamai biang. Karena bentuknya yang besar, rebana biang sukar dipegang. Untuk memainkannya para pemain duduk sambil menahan rebana.

Dalam membawakan sebuah lagu, ketiga reban itu mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Biang berfungsi gong. Gendung dipukul secara rutin untuk mengisi irama pukulan sela dari biang. Kotek lebih kepada improvisasi dan pemain kotek biasanya paling mahir.

Setiap grup rebana biang mempunyai perbendaharan lagu berbeda-beda. Meskipun judul lagunya sama namun cara membawakannya cukup berbeda. Lagu rebana biang ada dua macam. Pertama berirama cepat, disebut lagu Arab atau lagu nyalun. Kedua berirama lambat, disebut lagu rebana atau lagu Melayu. Jenis lagu pertama antara lain berjudul : Rabbuna Salun, Allahah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, Hadro Zikir. Termasuk jenis kedua berjudul : Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayiduna, Dul Laila, Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun Selosin, Sangrai Kacang, dan lain-lain.

Penamaan lagu Arab dan lagu Melayu tidak berhubungan dengan syair lagunya. Tetapi pada cepat dan lambatnya irama lagu. Cepat dan lambatnya irama lagu dibutuhkan untuk mengiringi tari. Tari yang diiringi rebana biang ialah tari Blenggo.

Dahulu grup rebana biang banyak tersebar seperti di Kalibata Tebet, Condet, Rambutan, Kalisari, Ciganjur, Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tanu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok Terong, Sawangan, Pondok Rajeg, Gardu Sawah, Bojong Gede, dan sebagainya.

Keberadaan rebana biang saat ini sangat menghawatirkan. Grup rebanan biang Pusaka di Ciganjur masih bertahan. Grup ini dipimpin oleh Abdulrahman. Namun personalia grup ini sebagian besar sudah tua. Kemungkinan grup inipun akan hilang karena kesulitan mencari kader yang berminat menggeluti rebana biang.

Kong Sa’anan sudah berusia 90 tahun. Pada tahun 1950-an grup rebana biang Kong Sa’anan sangat ditunggu-tunggu pementasannya. Konon Kong Sa’anan mempunyai Ronggeng Gaib yang selalu menyertai pementasannya. Ronggeng Gaib inilah yang menyedot dan menghipnotis penonton. Sehingga penonton dengan sukarela bertahan samapi pagi.

Kong Sa’anan kini tidak mungkin lagi pentas dengan grup rebana biangnya. Rebana biang yang telah digeluti leluhurnya sejak jaman Mataram, telah dijual. Bagaiman nasib si Ronggeng Gaib selanjutnya? Walallahu ‘alam.

Rebana Hadroh
Sejak kecil Mudehir telah tuna nerta. Dia tinggal di sebuah rumah sederhana di kampung Pondok Pinang Jakarta Selatan. Tetangganya seorang Betawi kaya yang memiliki pabrik batik cap. Setiap hari Mudehir mendengar kesibukan buruh yang bekerja pabrik batik cap itu. Suara hentakan bertalu-talu para buruh itu membangkitkan inspirasi dan imajinasi bagi Mudehir. Semakin didengarkan, suara-suara itu semakin memperkaya batin Mudehir.

Feeling berkesenian Mudehir sangat kuat. Suatu hari dia diajak bermain rebana. Dengan senang hati dia ikut ajakan itu. Ternyata perkumpulan rebana yang mengajaknya adalah perkumpulan rebana hadroh. Bagi Mudehir pukulan-pukulan rebana hadroh terasa tidak asing di telinganya. Bahkan malah sudah sangat akrab. Ternyata pukulan rebana hadroh tidak jauh berbeda dengan suara-suara yang tiap hari didengar dari pabrik batik cap.

Para seniman rebana mengatakan cara memainkan rebana hadroh bukan dipukul biasa tapi dipukul seperti memainkan gendang. Rebana hadroh terdiri dari tiga instrumen rebana. Pertama disebut Bawa. Kedua disebut Ganjil atau Seling. Ketiga disebut Gedug. Bawa berfungsi sebagai komando, irama pukulannya lebih cepat. Ganjil atau Seling berfungsi saling mengisi dengan Bawa. Gedug berfungsi sebagi bas.

Jenis pukulan rebana hadroh ada empat, yaitu : tepak, kentang, gedug, dan pentil. Keempat jenis pukulan itu dilengkapi dengan naman-nama irama pukulan. Nama irama pukulan, antara lain : irama pukulan jalan, sander, sabu, pegatan, sirih panjang, sirih pendek, pegatan, dan bima.

Lagu-lagu rebana hadroh diambil dari syair Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. Yang khas dari pertunjukan rebana hadroh adalah Adu Zikir. Dalam Adu Zikir tampil dua grup yang silih berganti membawakan syair Diiwan Hadroh. Grup yang kalah umumnya grup yang kurang hafal membawakan syair Diiwan Hadroh.

Rebana hadroh pernah ada di kampung Grogol Utara, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, Paseban. Mudehir menjadi tokoh legendaris dalam kesenian rebana hadroh. Mudehir memiliki keterampilan tehnis yang sempurna. Variasi pukulannya sangat kaya. Bahkan dengan kakinya pun suara rebana masih sempurna. Suaranya indah. Daya hafalnya atas syair Diiwan Hadroh sangat baik. Mudehir wafat pada tahun 1960. Sepeninggal Mudehir rebana hadroh semakin surut. Kini rebana hadroh tinggal kenangan.

Rebana Dor

Rebana Dor jenis rebana yang fleksibel. Reban Dor dapat digabung pada semua rebana. Dapat dimainkan bersama Rebana Ketimpring, Rebana Hadroh, dan orkes gambung.

Ciri khas Rebana Dor terletak pada irama pukulan yang tetap sejak awal lagu sampai akhir. Cairi lain adalah lagu Yaliil. Yaitu bagian solo vokal sebagai pembukaan lagu. Lagu Yaliil mengikuti nada atau notasi lagu membaca Al-Qur’an. Namanya antara lain : Shika, Hijaz, Nahawan, Rosta, dan lain-lain. Cara memegang Rebana Dor terkadang bertumpu pada lutut kiri kanan. Tangan kiri dan kanan bebas memukul reban.
Syair lagu Rebana Dor diambil dari berbagai sumber. Dapat diambil dari syair Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah, Diiwan Hadroh, Addiibai dan lain-lain.

Rebana Dor lebih banyak persamaannya dengan Rebana Kasidah. Perkembangan Rebana Kasidah sangat pesat sehingga menggeser Rebana Dor. Lagi pula Rebana Kasidah lebih diminati remaja putri. Rebana Dor hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Rebana Kasidah lebih enak ditonton karena pemainnya remaja putri. Rebana Dor didukung pemain leki-laki yang sudah berusia lanjut.

H. Naiman dari kampung Grogol Utara, Arifin dari kampung Kramat Sentiong, dan H. Abdurrahman dari kampung Klender adalah tokoh-tokoh Rebana Dor. Sayangnya ketiga orang ini tidak mempunyai penerus. Sehingga Rebana Dor tidak berkembang.

Rebana Burdah*

Keluarga Ba’mar, Azmar, dan Kathum berasal dari Mesir. Keluarga ini telah menetap di Betawi lebih dari tiga generasi. Mereka tinggal di Kampung Kuningan Barat, Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Salah seorang sesepuh mereka yaitu Sayyid Abdullah Ba’mar melahirkan kesenian Rebana Burdah. Dan menamai grupnya dengan naman Firqah Burdah Ba’mar. Abdullah Ba’mar secara intensif membina Rebana Burdah. Semua anak cucunya dianjurkan belajar Rebana Burdah.

Kehadiran Firqah Burdah Ba’mar awalnya untuk mengisi waktu luang menjelang atau sesudah pengajian. Dengan disajikannya Rebana Burdah, pengajian terasa lebih meriah dan tidak membosankan. Karena main di forum pengajian, lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri. Syair ini berisi puji-pujiab kepada Nabi Muhammad.

Rebana Burdah ternyata disenangi oleh keluarga keturuan Arab. Maka setiap ada kegiatan ditampilkanlah Rebana Burdah. Lagu-lagunya masih tetap dari syair Al-Busyiri.

Rebana Maukhid*

Munculnya jenis kesenian Rebana Maukhid tidak lepas dari nama Habib Hussein Alhadad. Habib inilah yang mengembangkan Rebana Maukhid. Habib Hussen mempelajari kesenian rebana dari Hadramaut. Rebana Maukhid yang asli hanya dua buah. Tapi Habib Hussein mengembangkannya menjadi empat sampai 16 buah.

Profesi sehari-hari Habib Hussein adalah muballig. Untuk lebih memeriahkan tablig, Habib Hussein menyanyikan shalawat diiringi rebana. Syair shalawat yang dinyanyikan diambil dari karya Abdullah Alhadad.

Keberadaan Rebana Maukhid bukan semata-mata untuk pertunjukan, tapi sebagai pengis acara tablig. Tidak ada rancangan khusus berkenaan dengan pementasan. Apalagi rencana pengembangan dan perluasan wilayah. Rebana Maukhid hanya ada di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kalaupun di daerah lain ada Rebana Maukhid, mungkin dilakukan oleh murid Habib Hussein Alhadad.

Rebana Ketimpring

Rebana Ketimpring jenis rebana yang paling kecil. Garis tengahnya hanya berukuran 20 sampai 25 cm. Dalam satu grup ada tiga buah rebana. Ketiga rebana itu mempunyai sebutan, yaitu rebana tiga, rebana empat, dan rebana lima. Rebana lima berfungsi sebagai komando. Sebagai komando, rebana lima diapit oleh rebana tiga dan rebana empat. Rebana Ketimpring ada dua macam. Pertama Rebana Ngarak. Kedua Rebana Maulid.

Sesuai dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi mengarak dalam suatu arak-arakan. Rebana Ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin pria menuju ke rumah mempelai pengantin wanita. Syair lagu Rebana Ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab maulid Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi mengarak itulah, Rebana Ngarak tidak statis di satu tempat saja.

Rebana Ngarak saat ini berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam grup Rebana Ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat. Dalam upacara ngarak penganten biasanya ada dialog berbalas pantun dan atraksi silat. Grup Rebana Ngarak terdapat di berbagai kampung. Misalnya di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Tebet, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, dan lain-lain.

Rebana Maulid sesuai dengan namanya berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat nabi Muhammad. Kitab maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syeh Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh bacaan diiringi rebana. Hanya bagian tertentu seperti : Assalamualaika, Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri.

Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi. Pembacaan maulid tidak terbatas pada bulan mulud (Rabiul Awwal) saja. Setiap acara selalu ada pembacaan maulid. Apakah khiatanan, nujuhbulanin, akekah, pernikahan, dan sebagainya.

Pukulan Rebana Maulid berbeda dengan pukulan Rebana Ngarak. Nama-nama pukulan Rebana Maulid disebut : pukulan jati, pincang sat, pincang olir, dan pincang harkat.

Dahulu ada seniman Rebana Maulid yang gaya pukulannya khas. Seniman ini bernama Sa’dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa’dan memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya disebut Gaya Sa’dan.
Minat generasi muda belajar Rebana Maulid sangat kurang. Kini pembacaan maulid Nabi Muhammad sudah jarang diiringi rebana.

Rebana Kasidah*

Rebana Kasidah termasuk yang paling populer. Setiap kampung terdapat grup Rebana Kasidah. Peneliti musik rebana menganggap jenis Rebana Dor mengilhami munculnya Rebana Kasidah.

Sejak awal Rebana Kasidah sudah disenangi, khususnya oleh remaja putri. Ini yang membuat pesatnya perkembangan Rebana Kasidah. Tidak ada unsur ritual dalam penampilan Rebana Kasidah. Maka Rebana Kasidah bebas bermain di mana saja dan dalam acapa apa saja.

Tahun 1970 sampai 1980-an festival kasidah marak dilaksanakan. Grup pemenang festival ditampilkan pada acara-acara penting. Ada pula grup yang merekam ke pita kaset. Kaset rekaman itu laku dijual.

Penyanyi Rebana Kasidah yang terkenal adalah Hj. Rofiqoh Darto Wahab, Hj. Mimi Jamilah, Hj. Nur Asiah Jamil, Romlah Hasan, dan lain-lain.

Rebana Kasidah terus berkembang. Syairnya tidak terbatas pada bahasa Arab. Ada yang bahasa Indonesia, Sunda, Jawa, dan sebagainya. Bahkan kini ada grup kasidah modern. unix.web.id

 
   

TANJIDOR

Betawi sangat kaya dengan ragam kesenian tradisional. Maklum sejak berabad-abad kota ini sudah didatangi beragam bangsa. Termasuk bangsa Portugis yang datang sebelum Belanda.

tanjidor.jpgBangsa di Eropa Selatan itu ikut memasukkan unsur keseniannya dalam bentuk musik tanjidor. Karena dimainkan oleh sepuluh bahkan sampai belasan orang dengan berbagai alat musik, sehingga ada yang mengkategorikannya sebagai ”musik jazz Betawi”.

Perkiraan asal muasalnya dari Portugis, karena berasal dari kata ”tanger”, yang berarti memainkan alat musik–pada pawai militer atau upacara keagamaan. Entah kenapa, kata ”tanger” kemudian diucapkan jadi tanjidor.

Ngamen di kampung Mungkin generasi sekarang tidak banyak lagi mengenal musik klasik yang satu ini. Padahal, sampai pertengahan 1950-an, tanjidor ‘ngamen’ dari kampung ke kampung, terutama untuk memeriahkan perayaan Lebaran, pergantian tahun, dan Imlek (tahun baru Cina).

Pada saat Imlek, hari-hari ngamen tanjidor jauh lebih lama. Pasalnya, Imlek dirayakan sampai Capgomeh atau hari ke-15 Imlek. Pengamen tanjidor berasal dari daerah pinggiran Betawi, yaitu Karawang, Bekasi, Cibinong, dan Tangerang. Saat ngamen mereka terpaksa menginap di Jakarta, meninggalkan keluarganya di kampung.

Peralatan yang mereka bawa pun cukup berat, seperti terompet Prancis, klarinet dan tambur Turki, serta terompet besar. Yang menyedihkan, mereka ngamen dengan berjalan kaki tanpa alas sepatu atau sandal.

Berasal dari budak
Ernst Heiinz, ahli musik Belanda, berpendapat bahwa tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik oleh tuannya. Hal ini dipertegas oleh sejarahwan Belanda yang banyak menulis tentang Batavia bahwa orkes tanjidor kemudian muncul pada masa kompeni.

Sampai 1808, kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa di luar kota, seperti di Cilitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng, dan Cimanggis. Di vila-villa yang megah dan mewah itu, mereka mempekerjakan ratusan budak. Di antara mereka ada yang khusus memainkan alat-alat musik untuk menghibur para tuan saat jamuan makan malam dan kegiatan pesta lainnya. Ketika perbudakan dihapuskan 1860, mereka membentuk perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.

Pengaruh Belanda
Dalam perkembangannya kemudian, orkes rakyat ini dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan, antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, dan Cakranegara.

Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Tapi, Tanjidor juga membawakan lagu-lagu Betawi asli, seperti Jali-Jali, Surilang, Kicir-kicir, Cente Manis, Stambul, dan Parsi. Pada 1954, Walikota Sudiro melarang musik tanjidor ngamen. Pelarangan ini tentu saja membuat para senimannya menjadi kecewa.

Kini, musik tanjidor dikabarkan merana di tengah situasi Betawi modern (Jakarta). Keberadaannya tak lagi populer untuk ukuran Ibukota RI ini yang sudah kosmopolitan. Padatnya penduduk dan jalanan macet, juga menyulitkan rombongan seniman tanjidor untuk ngamen, meski sudah tak ada lagi larangan.
( alwi shihab )www.softoh-jamaah.blogspot.com

Gambang Kromong

 

Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh ’pencon’). Orkes Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Cina. Secara fisik unsur Cina tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong merupakan unsur pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Disamping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya.

kromong.jpg

Orkes Gambang yang semula digemari oleh kaum peranakan Cina saja, lama-kelamaan di gemari pula oleh golongan pribumi, karena berlangsugnya proses pembauran. Bila pada masa lalu popularitas orkes Gambang Kromong umumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat keturunan Cina dan masyarakat yang langsung atau tidak langsung banyak menyerap pengaruh kebudayaannya, pada perkembangan kemudian, penggemarnya semakin luas, lebih-lebih pada tahun tujuh puluhan. Bebagai faktor yang menyebabkan diantaranya

karena mulai banyak seniman musik pop yang ikut terjun berkecimpung didalamnya seperti Benyamin S pada masa hidupnya, Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina Effendi dan lain-lain.

Gambang Kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun didaerah sekitarnya, lebih banyak penduduk keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes Gambang Kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup Gambang Kromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Dewasa ini terdapat istilah “Gambang Kromong asli” dan “Gambang Kromong kombinasi”.

 

Sebagaimana tampak pada namanya “Gambang Kromong kombinasi”, ialah orkes Gambang Kromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern yang kadang-kadang elektronis, seperti gitar melodis, bass, gitar ,organ, saxopone, drum dan sebagainya. Disini berlangsung perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonis tanpa terasa mengganggu.

(www.tamanismailmarzuki.com)

Musik Etnis (Betawi), Tak Harus Mengalah pada Modernisasi

“Bermain musik dan bernyanyi banyak mewarnai penelitian saya di Jakarta. Bagi saya, tampil bermain musik menjadi kunci dalam belajar,” kata wanita yang sudah berlatih dan mahir bermain musik jazz sejak kecil di konservatorium (sekolah musik) New England, Virginia ini. Dia juga banyak belajar dan memainkan musik etnis Arab sejak 1985.

Setiap berkunjung ke Jakarta, aktivis Society for Ethnomusicology and the Middle East Studies Association ini selalu diundang untuk tampil bermain musik, terutama alat musik gambus qanun dan ‘ud (semacam gitar dan kecapi Arab) di berbagai lokasi pertunjukan musik etnis seperti di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Auditorium Universitas Islam Negeri (UNJ) dan Aula IIQ, Ciputat, Jakarta Selatan.

Selain ikut pentas, di GKJ Anne juga kerap menyaksikan penampilan anak-anak muda Betawi yang ´unjuk kebolehan´ musik etnisnya. Dalam hal ini, Anne lebih menyukai tampilan musik etnis tidak dicampuri alat-alat musik modern semisal MIDI dan keyboard. “Biarkan musik etnis tampil apa adanya. Sehingga dia bisa memanggil ruh masa lalu untuk menghadirkannya ke masa kini. Dengan itu, kita bisa menikmati dinamika sejarah,” nasihat Etnomusikolog yang mengikuti jejak Cendekiawan Senior Fulbright, Vincent Mc Dermott ini. Mc Dermott adalah musikus etnik dunia yang banyak memperkenalkan seni musik Jawa (gamelan) di Amerika.

Seharusnya, tutur Profesor yang menyelesaikan S1 di Universitas Northwestern ini, musik Betawi yang semula hanya sebagai iringan untuk sebuah upacara adat dan berbagai acara seremonial lainnya diharapkan nantinya bisa menjadi musik yang lebih memasyarakat dan mendunia.

Misal, lanjut Anne, di tempat lain industri musik dan lagu daerah mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat. Perasaan cinta dan bangga dengan lagu bernuansa kedaerahan sangat terasa di sejumlah daerah di Indonesia. Ada campursari, pop Sunda, Bali, Manado, Batak, dan lain-lain. “Tapi, apakah ini jawaban dari kejenuhan musik dan lagu produksi Ibukota? ternyata bukan. Ini karena kreativitas dari seniman daerah yang tumbuh dengan pesat karena didukung iklim yang cukup baik, seperti tersedianya peralatan musik, peralatan rekaman, dan pembuatan videoklip, sebagai bagian yang tak terpisah dari mata rantai proses produksi,” ungkap Dekan Musik dan Etnomusikologi dan sekaligus Direktur Musik Ensambel Timur Tengah, Akademi Musik William and Mary ini.

Dan yang paling penting, imbuh anggota organisasi etnomusikolog Society for Ethnomusicology and the Middle East Studies Association ini, pasar yang ada cukup prospektif serta belum mencapai titik jenuh. “Kesempatan ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh berbagai kalangan yang terlibat. Sehingga, musik dan lagu daerah bisa menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri,” ucap Profesor yang mulai mengajar di Akademi Musik William and Mary sejak 1993. Dia juga menjadi dosen etnomusikologi dan musik Timur Tengah di Oberlin College dan Universitas Texas, Austin (AS). Selain itu, si jenius yang menyabet dua gelar Master (S2) sekaligus dari Universitas Denver (AS) dan Universitas Sorbonne, Paris (Perancis) ini juga membuka privat etnomusikologi dan kajian antropologi musik berbagai kebudayaan dunia semisal musik etnis Amerika dan disiplin musikologi.

Apalagi, tambah lulusan S3 (1992) etnomusikologi Universitas California, Los Angeles ini, bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari memberi andil cukup besar dalam menyukseskan musik dan lagu daerah di pasaran, sesuai segmentasi pemakai bahasa daerah tersebut. “Jika diproduksi dengan baik, tidak tertutup kemungkinan orang yang bukan pemakai bahasa daerah tersebut akan ikut menikmati dan menggemarinya,” kata bule keturunan Denmark yang mahir berbahasa Perancis ini.

Menurut editor buku musik etnis populer Musics of Multicultural America: A Study of Twelve Musical Communities (1997) ini, media suara seperti stasiun radio sangat berperan terhadap kesuksesan musik dan lagu daerah. Karena, stasiun radio menjadikan musik dan lagu daerah menjadi andalan, dan menduduki rating tertinggi di setiap daerahnya. Ini secara otomatis menjadi lahan untuk meraup kue iklan yang cukup besar nilai rupiahnya. Maka, yang menjadikan nama seorang seniman menjadi besar secara tak langsung adalah media massa, tak terkecuali stasiun radio. Untuk Jakarta, barangkali sosialisasi musik daerah (Betawi) ini telah sukses dilakukan Bens Radio yang membangun studionya di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan.

Ada beberapa jenis musik Betawi yang populer di Ibukota. Diantaranya rebana, ini adalah alat musik berkulit yang bernafaskan Islam yang digunakan sebagai sarana upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pernikahan, khitanan, kenduri dan sebagainya. Di samping orkes gambus, musik Betawi yang menunjukkan adanya pengaruh Timur Tengah adalah berbagai jenis orkes rebana. Berdasarkan alatnya, sumber syair yang dibawakan dan latar belakang sosial pendukungnya, rebana Betawi terdiri dari bermacam-macam jenis dan nama, seperti rebana ngarak, rebana dor, dan rebana biang. Sebutan rebana ketrimping, mungkin, karena adanya tiga pasang ´kerincingan´, yakni semacam krecek. Rebana ngarak digunakan untuk mengarak pengantin pria menuju rumah pengantin wanita.

Selain itu, ada juga Keroncong Tugu. Sesuai dengan sebutannya merupakan orkes keroncong khas Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Menurut sejarahnya, penduduk kampung itu menganggap dirinya adalah keturunan orang Portugis. Nama-nama mereka, sampai sekarang banyak yang masih menggunakan nama Portugis. Ada tiga hal yang bertahan dalam tradisi keroncong tugu, yaitu alat musik, lagu-lagu (repertoar), dan kostum pemainnya. Alat musiknya tetap seperti tiga abad yang lalu, yakni keroncong, biola, okulele, banyo, gitar, rebana, kempul dan sello. Lagu-lagu yang tidak pernah ditinggalkan adalah lagu-lagu lama, Kaparinyo, Moresco, dan lagu-lagu stambul Betawi.(www.beritajakarta.com)

Kerak Telor

Pernah denger makanan betawi yang namanya kerak telor?
Yang pasti bukan telor gosong yang terus jadi kerak… hehehe
Makanan ini selalu ada di arena jakarta fair… dari tahun ke tahun, mulai dari jamannya masih di Monas hingga kini pindah ke Kemayoran.

Makanan ini terbuat dari nasi ketan aron atau setengah matang, yang kemudian dicampur dengan telor (bisa telor ayam atau telor bebek) beserta bumbunya. Setelah matang dimakan dengan taburan serundeng dan bawang goreng. Cara masaknya juga cukup unik. Ketika kerak telor telah setengah matang maka wajan pemasaknya dibalikkan dan kerak telor dibiarkang langsung terkena panas arang dari anglo sehingga kemudian menjadi sedikit gosong. Mungkin ini yang dinamakan keraknya…

Gw suka makanan ini karena kebetulan mama gw juga suka banget. Mulai dari harganya Rp 200 untuk telor ayam dan Rp 300 untuk telor bebek hingga kini menjadi Rp 7000 untuk telor bebek. Harga itu bisa lebih mahal lagi ketika kini kerak telor bisa kita jumpai di pasar modern seperti Carefour Foodcourt.

Senin malam lalu, gw membeli 4 kerak telor untuk mama. Kebetulan kini gw bisa menjumpai tukang kerak telor ini di deket kantor. Tepatnya di parkiran Circle K Pancoran. Dari dulu hingga kini yang gw perhatikan menjual biasanya adalah seorang bapak-bapak tua. Entah kenapa mungkin sang anak tak mau lagi meneruskan usaha bapaknya karena mendapat pekerjaan yang lebih baik atau karena malu. Dan selalu pula sambil penjual tersebut memasak, kami berbincang santai… seputaran jakarta tempo dulu dengan dialek betawi yang kental.

Entah sampai kapan kerak telor ini akan bertahan di tengah derasnya serbuan fast food barat seperti McD, Burger King, Pizza atau juga japanese food seperti HokBen yang kini ada di mana-mana. Bahkan saat ini tampaknya lebih bangga menjadi bagian dari kapitalis kuliner barat seperti Burger Blenger atau japanese food lokal seperti Roku-Roku ketimbang melestarikan kuliner lokal seperti kerak telor ini…

Sumber : Indonesian Community