Megapolitan Jakarta dulu populer disebut Betawi, merupakan gudang kesenian rakyat (folklore) yang banyaK bertebaran diseantero ruang dan waktu. Khasanah kesenian Betawi berkembang pada zamannya tak hanya jenis seni pertunjukan panggung seperti Lenong, Tari, Silat, Cokek, dll. Tetapi banyak pula dijumpai jenis seni musik rakyat semisal Tanjidor, Gambang Kromong, Samrah, Gambus, Rebana, dll.
Penyebaran jenis kesenian tersebut merata dari pusat kota hingga ke pinggiran. Jenis musik khas Betawi pun seabreg. Salah satunya Rebana yang juga bervariasi. Ada Rebana Biang, Rebana Burdah, Rebana Maukhid, Rebana Kasidah, Rebana Dor, Rebana Hadroh, Rebana Maulid, Rebana Ketimpring, dll.
Disebut Rebana Biang, karena bentuknya yang besar. Jenis musik perkusi dan bermembran ini biasa dimainkan di kampung-kampung, di Masjid, Surau dan tempat-tempat lainnya yang memungkinkan bisa diakses untuk menghibur. Mengiringi berbagai permainan dengan nyanyian dan gerak tari. Di Betawi, permainan rebana biasanya dilakukan dengan menyanyikan lagu-lagu kasidah dan seringkali dalam berbagai keriyaan yang bertalian dengan budaya Islam, seperti Mauludan, Lebaran, Khitanan, Pernikahan, dan lain-lain. Ada perndapat yang mengatakan Rebana berasal dari kata Robbana yang berarti Tuhan kami. Karena di Betawi tempo dulu, Rebana ditabuh dalam kaitannya dengan Islam. Diluar Betawi, Rebana juga berkembang luas dan disebut Terbang.
Selain Rebana Biang yang berukuran gede bergaris tengah mencapai 20 s/d 25 Cm, juga masih ada Rebana Ketimpring berukuran sedang dan pinggirannya terdapat ombyokan logam berbentuk bulat tipis. Kalau ditabuh, ombyokan logam bulat tipis itu menimbulkan suara cring….cring…..cring…. Selain itu ada jenis rebana lainnya seperti Rebana Jati, Rebana Rakep, Rebana Gedak, dan banyak lagi nama Rebana-rebana lainnya menurut istilah dan fungsinya bagi masyarakat Betawi tempo dulu menjadi kegembiraan dan kebanggaan. Rebana Jati – untuk upacara-upacara, Rebana Rakep – untuk mengarak/mengiringi pengantin, Rebana Gedak – mempergunakan pantun Indonesia.
Diluar Betawi pun didapati Rebana. Perkembang pesat di pesisir pantai Utara. Semisal di kawasan Sunan Gunungjati Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal hingga Semarang. Di kota-kota tersebut dijumpai ragam Rebana yang disebut Terbang Kentrung karena bila ditabuh menimbulkan bunyi : drung dung drung…. Drung dung drung…… di tindih nyanyian puji-pujian terhadap Nabi Muhamad, dan jelas bernuansa Islami. Juga Terbang Kenjring yang bunyinya tong tang tong jring, tong jring tong jring …… Biasanya adat menabuh terbang kendrung mau pun Genjring di kawasan pantai Utara untuk menyemarakkan hajatan, mengarak pengantin dan acara khitanan atau keramaian lainnya pada upacara Mauludan.
Musik Rebana juga berkembang jauh diluar Jawa, diseantero Nusantara. Antara lain di Jambi, Palembang, Riau, Sumatera Barat, dll. Agaknya Rebana atau apapun nama dan istilahnya banyak dijumpai di tengah komunitas masyarakat pemeluk Islam. Konon dalam sejarah pengembangnnya, musik Rebana berasal dari Timur Tengah atau jazirah padang pasir Arabia. Di Mesir dan Iran, Rebana berbentuk gendang dan seruling untuk mengiringi tari perut. Seni musik Rebana masuk kawasan nusantara dibawa atau diperkenalkan oleh para pedagang Arab yang tinggal di sepanjang pesisir pantai Indonesia. Dari sanalah Rebana berkembang hingga
Dalam buku “SENI BUDAYA BETAWI (Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya)” terbitan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Rebana terkesan masih menjadi perdebatan sengit yang mempermasalahkan asal-usulnya. Ada yang setengah ragu menentukan dari mana sebetulnya asal-usul Rebana Betawi yang di diklaim sebagai produk masyarakat Betawi. Ada yang berpendapat, seni musik Rebana masih didapati unsur Bali, karena pelaku atau seniman Rebana banyak yang mengaku berasal dari Bali.
Pendapat lain bersiteguh mengatakan, Rebana menurut perkembangannya diciptakan oleh Pak Saiman dari aspirasinya ketika air hujan rintik-rintik diatap rumahnya yang bocor. Namun pernyataan tersebut tidak akurat. Tidak disinggung siapa itu Pak Saiman, dimana tempat tinggalnya dan sejak kapan memperkenalkan kepada khalayak dan kapan mulai dikembangkan.
“Kendati pun musik rakyat banyak dipengaruhi dari luar”, kata Iskandar, pakar seniman Betawi, “Tetapi tetap melalui proses pengembangan dan pengolahan untuk bisa diterima”. Dikatakan pula Rebana bukanlah pengaruh dari Bali, tetapi pengaruh dari Arab, terutama karena lagu-lagu pujaan /pujian terhadap nilai yang diiringi dengan rebana. Kendati pun di Arab tidak ada jenis musik yang dinamakan Rebana.
Asal-usul Rebana memang masih simpang-siur karena disana-disi masih saja muncul perbedaan pendapat di kalangan pakar kesenian Betawi. Tetapi dalam alam demokrasi kita pun harus menghargai pendapat yang berbeda. Karena tidak selalu pendapat berbeda itu negatif bahkan saling mewarnai ibarat warna pelangi yang beraneka ragam yang tampak indah. Tetapi Haji Azis, salah satu tokoh Betawi, bersikap netral. Dari pada repot memikirkan dari mana asal-usul musik tersebut, ia mengatakan bahwa yang perlu diketahui oleh berbagai pihak ialah fungsi Rebana itu sendiri yang tingkatannya. Pertama untuk mengiringi sejarah Maulud yang diambil dari Kitab Syariful Aman, kedua menjelaskan Kitab Giba, ketiga menjelaskan Kitab Burdah dan keempat Maulid Nabi. Jadi semua itu sebagai pengiring pantun lahirnya Nabi Muhammad,
Pendapat lain menjelaskan, Rebana bukan berasal dari Bali, atau bukan dari Betawi. Tetapi berasal dari daerah Sumatera Selatan, yang berfungsi untuk upacara-upacara, salah satunya Maulud dan lain-lain. Sebagai alat musik pengiring nyanyian yang mempergunakan prosa-prosa Arab tinggi (bukan ayat-ayat Al Quran) karena mulanya Rebana banyak digelar di Masjid-masjid, Surau dan di tengah komunitas Muslim. Walaupun musik Rebana lebih kencang ditindih puji-pujian yang memuliakan asma Allah dan menggunakan bahasa Arab, namun ada pula yang mengatakan Rebana bukan dari Timur Tengah.
FX Haryadi, salah seorang musikolog yang saat hidupnya nongkrong di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, mengatakan hakekat folklore musik, yang terpenting ialah hubungan antara musik dan lingkungannya (tanah-rakyat-seni). Yang dimaksud dengan pendukung folklore musik itu sendiri dapat dibedakan :
– penduduk Jakarta Kota
– penduduk Jakarta pinggiran, dan bagaimana kemudian seluruh penduduk itu bisa terintegrasi. Masalah pengaruh atau asal muasal bukanlah persoalan yang mesti diperdebatkan.
Banyak diantara pakar dan seniman Betawi yang menghendaki agar kesenian Betawi salah satunya seni musik Rebana Biang dikembangkan dan dilestarikan agar tak lenyap dari permukaan kota Jakarta. Tetapi zaman terus berubah dan bergeser sekian derajat. Sehingga apa yang diharapkan meleset adanya. Gerak Rebana Biang di kota yang dulu kencang disebut Betawi kian ciut dan terpinggirkan. Pusat-pusat kegiatan berseni musik Rebana Biang di Ciganjur, Cijantung, Cakung, Cise’eng, Parung, Pondok Rajeg, Bojong Gede, Citayam, Condet, Lubang Buaya, Sugih Tamu, Pondok Cina, Bintaro, dan Curug dekat Depok, ternyata sudah banyak yang sirna.
Umumnya grurp-grup Rebana Biang, yang dekat di lingkungan perkotaan, seperti Rebana Biang Ciganjur, lebih banyak memiliki perbendaharaan lagu-lagu dzikir berbahasa Arab atau lagu-lagu yang linknya berbahasa Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi senimannya sendiri kurang dipahami artinya. Tetapi makin terpinggirnya musik Rebana Biang dari kehiruk-pikukan Megapolitan Jakarta, bukan berarti habis sudah. Karena jenis musik tersebut masih bisa didengar sekali-sekali ketika orang merayakan HUT Jakarta. (Tjok Hendro) ***