Tragedi Tanjung Priok, Jakarta, 1984

Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di tanjung Priok, tentu tidak akan pernah melupakan peristiwa tragis dan berdarah ini. Beberapa teman, tetangga dan seorang ustadz keturunan bugis, yang juga tetangga, turut menjadi korban atas kebiadaban dan kerakusan akan kekuasaan Orde baru. Semoga tidak akan pernah terulang lagi di masa datang………

Senin, 10 September 1984. Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, mendatangi mushala As-Sa’adah untuk menyita pamflet berbau ‘SARA’. Namun tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got, bahkan menginjak Al-Qur’an. Warga marah dan motor motor Hermanu dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat. Malah mereka memprovokasi dengan mempertontonkan salah seorang ikhwan yang ditahan itu, dengan tubuh penuh luka akibat siksaan.

Rabu. 12 September 1984. Mubaligh Abdul Qodir Djaelani membuat pernyataan yang menentang azas tunggal Pancasila. Malamnya, di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, “Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini”. Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, “Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?” Dijawab oleh massa, “Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !” Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma’ Allah dan Al-Qur’an. Amir Biki berpesan, “Yang merusak bukan teman kita !”

Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu … astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.

Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat yang menjadi Panglima ABRI saat itu, Jenderal Leonardus Benny Moerdani, adalah seorang Katholik yang sudah dikenal permusuhannya terhadap Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para mubaligh sangat ketat. Namun entah kenapa, di Tanjung Priok yang merupakan basis Islam itu para mubaligh dapat bebas berbicara bahkan mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggal Pancasila. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu, misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12 September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.

Diringkas dan diedit ulang dari Majalah Sabili dan Tabloid Hikmah
http://www.ummah.net/

Lenong Betawi

Lenong sebagai tontonan, sudah dikenal sejak 1920-an. Almarhum Firman Muntaco, seniman Betawi terkenal, menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran alias lawakan tanpa plot cerita.

Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan pendek, yang dirangkai dalam cerita tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung. Selepas zaman penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks.

Walaupun terus menyesuaikan diri dengan maunya zaman, untuk terus survive, lenong harus berjuang keras. Dan ini tak mudah. Tahun 60′-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran. “Rasanya, kami seperti berada di pinggir jurang,” cetus S.M Ardan, sastrawan dan sineas Betawi yang kini aktif di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.

Itu sebabnya, tahun 70-an, bersama para dedengkot Taman Ismail Marzuki (TIM), seperti Sumantri Sostrosuwondo dan Daduk Jayakusumah (keduanya almarhum), Ardan dan Ali Shahab (beken lewat “Jin Tomang”) bertekad menggaet lenong ke tempat terhormat, lewat revitalisasi lenong. Intinya, memberi kesempatan manggung sebanyak-banyaknya buat para seniman kocak itu. “Agar nama mereka ikut terangkat,” terang Ardan lagi.

Di TIM, durasi lenong yang semalam suntuk disunat jadi tiga jam saja. Selain itu, dramaturgi sederhana ikut diperkenalkan kepada pemain. “Kami mulai mengajarkan dialog, artikulasi, frasa, nuansa dan bloking sebagai bagian dari dinamika pementasan,” cerita Ali Shahab. Sebagai art director, dia juga memperkenalkan tata panggung yang lebih realistis. Mulai pemakaian make-up untuk menggantikan cemongan dan bedak, pemasangan hair creppe buat kumis dan jenggot, hingga special effect untuk darah dan luka.

Selama beberapa tahun, lenong ngetrend di TIM dan tempat-tempat pertunjukan lainnya. Anak lenong seperti Bokir, Nasir, Anen, Nirin, M.Toha, Bu Siti, Naserin ikutan beken. Kehidupan mereka pun terangkat lewat tawaran iklan, penampilan di TVRI, bahkan main film layar lebar.

Dibedakan pakaian

Tapi, jangan salah, lenong sendiri banyak macamnya, Cing. Drama rakyat yang populer di TIM dan TVRI, dengan lakon bertemakan cerita sehari-hari seperti rakyat yang tergencet pajak tuan tanah, disebut Lenong Preman. Alasannya gampang, karena pakaian para pemainnya tidak ditentukan sang sutradara. Jadi, boleh pakai baju sesuka hati, asal tak melenceng dari peran.

Di ujung cerita, biasanya muncul jagoan dari kalangan santri (pendekar taat beribadah) yang bertindak sebagai pembela rakyat. Ali Shahab menyebut para jawara itu berkarakter Robin Hood, merampok orang kaya guna menolong si miskin. Nah, karena penonjolan peran jagoan-jagoan itulah, Lenong Preman dinamai juga Lenong Jago.

Jika ada pemain berpakaian preman, mestinya ada juga yang berbaju resmi. Orang Betawi menyebutnya pakaian denes (dinas, red). Sayang, perkembangan Lenong Denes tak seharum rekan-rekannya di kelompok Preman. Barangkali, karena butuh modal besar untuk tampil di panggung. Maklum, pemainnya harus pakai seragam sesuai tuntutan cerita, yang sebagian besar bertutur tentang kisah-kisah 1001 malam.

Pada dasarnya, Lenong Preman dan Denes memang cuma dibedakan dari pakaian yang dikenakan. Karena pakem-pakem lainnya tetap seragam. Seperti aturan bahwa pemain harus masuk dari sisi kanan panggung dan keluar dari sisi kiri. Serta pakem terpenting yang tak bisa ditawar-tawar, musik pengiring gambang kromong. “Di luar itu, ya bukan lenong,” tegas Ardan.

Gambang kromong sendiri mirip perlengkapan band, terdiri atas berbagai instrumen. Berturut-turut gambang (alat musik dengan banyak sumber suara, terdiri dari 18 buah bilah terbuat dari kayu. Dikenal juga dalam tradisi Jawa dan Sunda), teh yan (semacam rebab berukuran kecil, berasal dari Cina), kong an yan (rebab berukuran sedang, juga berasal dari Cina), shu kong (rebab berukuran besar dari Cina), ning-nong (mirip gamelen Jawa dan Sunda, terbuat dari perunggu).

Selain itu, masih ada kemong (sejenis gong kecil, mirip gamelan Jawa atau Sunda), kromong (gamelan yang dapat menghasilkan 10 sumber suara), kecrek (bilah perunggu yang diberi landasan kayu untuk dipukul-pukul, sehingga berbunyi crek,crek), serta kendang (tambur dengan dua permukaan, berasal dari Jawa, Sunda atau Bali).

Toh, Ardan bisa mentoleransi daerah tertentu, terutama pinggiran Jakarta (perbatasan dengan Bekasi dan Bogor), yang memang tidak memiliki tradisi gambang kromong. Melihat sejarahnya, gambang kromong konon berasal dan berkembang di Betawi Tengah, seperti kawasan Tanah Abang, Senen, Salemba, Jatinegara dan sekitarnya.

Di pinggir Jakarta, “Mereka tetap mempertahankan pakem asli lenong, kecuali musik pengiringnya yang diganti tanjidor,” jelas Ardan. Kok tanjidor? “Karena musik jenis itulah yang berkembang pesat dan menjadi jati diri masyarakat Betawi pinggir,” tegas Ardan. Buat gampangnya, lenong jenis ini kemudian dinamai jinong, kependekan dari tanjidor dan lenong.

Jenis lenong

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.

Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong dene (wikipidia)

Nebeng, tapi diterima

Gencarnya “kampanye lenong” di TIM dan TVRI, bukan hanya membawa dampak positif buat mata pencaharian pelakonnya. Tapi juga menyebarkan pengaruh, orang Betawi menyebutnya sebagai “hikmah budaya”, yakni merasuknya dialek Betawi ke seluruh nusantara. Memang, “hasil finalnya” tak seperti bahasa Betawi baku yang sering terdengar di pemukiman.

Tapi berkembang lagi menjadi “bahasa metro”, karena sudah bercampur dengan idiom-idiom bahasa Indonesia dan daerah tertentu. Toh, Bokir, Nasir, Bu Siti atau Mandra bisa dibilang sukses mensosialisasikan dialek ‘kampung” itu, bahkan “mengangkatnya” menjadi bahasa pergaulan remaja.

Pengaruh lain, berdirinya teater-teater pop yang ke-Betawi-Betawian. Seperti Teater Mama (Mat Solar) dan Teater Mira (Nazar Amir) di tahun 80-an, maupun yang muncul dan ngetop di era 90-an, Lenong Rumpi dan Lenong Bocah. Produk-produk yang nebeng kepopuleran lenong ini terbukti bisa diterima masyarakat, meski masa kejayaannya terbatas.

“Kalau sementara pihak menanyakan kenapa Lenong Rumpi tidak seperti lenong tradisional, ya karena Rumpi adalah lenong modern yang lebih berorientasi pada produk hiburan, istilah kerennya product show-biz,” bela Harry De Fretes, juragan Lenong Rumpi, saat grupnya mulai menduduki rating tinggi di RCTI, sekitar tahun 1991.

Maklum, saat itu ia diserang habis-habisan, karena dianggap “melecehkan” dunia perlenongan. “Apakah dengan berpikir bisnis, konvensi lenong kemudian ditinggalkan? Seperti musik pengiringnya yang harus gambang kromong, serta pemain masuk dari pintu kiri dan keluar dari pintu kanan. Perubahan boleh-boleh saja, tapi harus tetap berakar pada nilai-nilai tradisi,” kritik Firman Muntaco dalam sebuah seminar di kampus Universitas Indonesia, 1991.

Sampai kini, kontroversi masih berlanjut. Sayangnya, sang teater rakyat malah terus tenggelam. Frekwensi pemunculannya di televisi mulai jauh berkurang, sementara panggung hajatan mulai enggan mengundang, barangkali karena nama lenong sudah kelewat besar buat menghibur acara kawinan. “Pamornya memang sedang meredup,” terawang S.M Ardan.

Lenong Preman masih mendingan, karena terkadang masih ada jadwal mentas di Anjungan DKI TMII. Tapi Lenong Denes? Pertunjukannya makin langka, seiring berkurangnya minat para “penanggap”. Tak heran jika pemain lenong muda merasa asing dengan konsep Denes ini. Di sisi lain, pemain yang dulu menggerakkan Lenong Denes, satu persatu dimakan usia, tanpa sempat menyiapkan pengganti.

Ulang Tahun Jakarta, Juni 2001 ini mestinya jadi momen yang pas untuk kembali memikirkan kelanjutan hidup teater rakyat yang tengah redup. Mengulang langkah revitalisasi boleh-boleh saja. Tapi sebagai pelakon, M. Toha, Bokir atau Nasir, ternyata punya pikiran jauh lebih ke depan.

“Dari dulu, katenye DKI (pemda, Red) mo bikin gedong tempat seniman-seniman Betawi maen. Tapi sampe sekarang, cuma janji doang,” koor mereka senada. Padahal, seperti dibilang Ridwan Saidi, lenong adalah tontonan sarat muatan moral. Bahwa si jahat, sampai kapan dan sekuat apapun, harus takluk pada kebenaran. Namun, tetap disampaikan dengan canda, hingga tak membuat merah telinga.

Sungguh pas jika dipraktikkan para elit politik yang kini sedang “berperang”. (Muhammad Sulhi) http://www.indomedia.com

(tulisan ini sudah mengalami perubahan, namun tidak mengubah esensinya, kasmadi, gambang)

TARI COKEK BETAWI (Dulu dibina oleh para cukong peranakan Cina)

Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu itu hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan hajatan perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang bersifat pesta rakyat. Disanalah para penari Cokek mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil menyanyi. Barangkali memang kurang afdol jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangannya selain menari juga harus pintar olah vokal alias menyanyi dengan suara merdu diiringi alunan musik Gambang Kromong. Jadi temu antara lagu dan musik benar-benar tampil semarak alias ngejreng beeng.

Sayang sekali dalam buku “Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H. Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain yang dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari Jawa Tengah.

cokek1.jpgtari_cokek2.jpg

Tamu terhormat

Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari wanita yang berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir bergincu, ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan para penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi jejer panggung kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan setinggi bahu, sambil melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi lagu-lagu khas Gambang Kromong. Kemudian mereka mengajak menari kepada para tamu yang hadir dengan mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya diberikan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila sang tamu bersedia menari maka mereka pun mulai menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pasangan yang menari saling membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada beberapa penari berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing memberikan imbalan berupa uang kepada penari cokek yang melayani. Lumayan, dalam semalam tiap penari cokek bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak jumlahnya. Bisa dibelanjakan barang-barang kebutuhan pribadi seperti pakaian, sepatu, sandal atau apa saja menurut kesenangan mereka.

Fungsi ekonomi

Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek menyandang fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa uang dari penanggap juga mendapat tip dari para lelaki yang berhasil digaet ngibing bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat penghasilan ajeg karena seringnya ditanggap. Beda dengan masa kini dimana jenis kesenian Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman teknologi modern, generasi baru Betawi di kota mau pun pinggiran merasa lebih senang menanggap musik Orgen tunggal yang menampilkan penyanyi dangdut berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran zaman memang sulit dicegah. Sekarang orang lebih suka memilih hiburan yang serba instan di depan layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian Cokek tidak punah, hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis kesenian Betawi melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan terus menerus.

Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala atau mungkin hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan celana panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. Kedua ujung selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang selain untuk menari juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari bersama. Keindahan busana itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain sutera atau saten berwarna ngejreng banget, merah menyala, hijau, kuning dan ungu, temaram mengkilap berkilauan jika tertimpa cahaya lampu patromaks

Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek (sebutan bagi penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika kepala digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Ada lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran goyang seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung hong.

Hidup enggan-mati ogah

Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata. Jauh sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu yang iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. Cukong-cukong peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat tinggal khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu belakangan ini telah berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah. (Tjok Hendro) http://www.tamanismailmarzuki.com

 

Sampah, Sisi Lain Jakarta

Jakarta semakin padat penduduknya, pastinya kita semua tahu urusan itu. Secara kasat mata, kita bisa lihat faktanya, tidak perlu repot-repot pakai hitungan matematis ataupun data statistik. Sebagai akibat dari populasi yang meningkat, maka dampak secara sosial maupun ekonomis sangat terasa. Pun, dampak lingkungan setali tiga uang.

Pencemaran lingkungan di Jakarta termasuk tinggi dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Sampah contoh kasus yang tiap hari kita rasakan. Produksi sampah di Jakarta begitu tingginya, hingga pernah terjadi samapah tak terangkut setelah lebaran. Pasalnya, transportasi pengangkut sampah yang tidak memadai, tenaga kerja yang juga sangat kurang, di samping terlalu banyaknya produksi sampah yang dibuang oleh warga Jakarta. Di sisi lain, tempat pembuangan akhir sampah yang juga menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat sekitar, seperti bau yang tidak sedap, pencemaran air tanah, yang keduanya dapat menimbulkan berbagai macam penyakit dari mulai ISPA samapi penyakit kulit.

sampah.jpg

Produksi sampah kota Jakarta mencapai 6.000 ton per hari. Produsen sampah kota tersebut, berdasarkan jenis serta persentasenya, antara lain sungai (2 %), pasar temporer (5,5 %), PD Pasar Jaya (7,5 %), industri (15 %), jalan dan taman (15 %), rumah tangga (58 %). Dari pengelompokan tersebut terlihat bahwa sebagian besar sampah kota berasal dari rumah tangga. Persentase sampah organik seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, kertas, kayu mencapai 65,05 %. Sedangkan sampah non organik seperti plastik, styrofoam dan besi, sekitar 34,95 %. (hendra aquan/jakartagreenmonster.com)

Nah, mestinya sebagai warga jakarta kita harus sadar sepenuhnya, bahwa sampah merupakan masalah serius yang harus dicarikan solusinya secara baik, benar dan damai. Segala masalah tidak harus melulu di mulai dari kekerasan seperti kasus TPA di Bogor yang pada akhirnya merugikan semua pihak.

Banjir

Sebagai wilayah yang ketinggian daratannya sangat rendah, Jakarta menjadi sebuah daratan yang selalu terancam banjir sejak jaman penjajahan Belanda. Atau, mungkin sebelum Belanda nyaba Sunda Kelapa, sudah pernah mengalami banjir. Belum ada data otentik yang menyatakan Jakarta pernah banjir sebelumnya.

image_readasp.jpg

Pembangunan yang bertubi-tubi, hutan beton yang tiap saat tumbuh bagai jamur di musim hujan, tata kota atau tata ruang yang amburadul menjadi salah satu penyebab mengapa air selalu mengantung di ibukota. Bisa kita bayangkan, bagaimana daerah-daerah serapan yang dulunya menjadi pusat kantung air ditebas pohonnya, diurug rawanya dan dijadikan apartemen, hotel, perkantoran atau mall. Pada akhirnya, air sulit meresap dan mecari jalannya sendiri.

keretabanjir1.jpg

Kemarin, tanggal 19 Februari 2008, kali sunter meluap dan menggenangi jalan raya Yos Sudarso, bukan cuma banjir akhirnya timbul kemacetan yang luar biasa di tanjung priok.

Jadi ingat kenangan masa kecil di Priok. Seingatku, saat masih duduk di kelas 5 – 6 SD, kawasan kelapa gading menjadiarea menanam padi, persisnya di belakang bulog. saya sering ikut uwak, pergi ke sawah melihat orang menandur dan sesekali ikutan panen padi pakai ani-ani, sering kena mata pisaunya. Jalan di atas bulakan pematang sawah, wah nikmatnya. Kini, kelapa gading sudah diurug dan dijadikan perumahan elit dan apartemen yang bagi rakyat biasa cuman ngiler ngeliatnya, mall artha gading yang lux, berdiri di atas kebun alm. pak ustad syaefuddin. Ingat kasus tanah merah? yang tokohnya mendapat penghargaan presiden soeharto dan kemudian dihukum cukup lama, gara-gara menentang penggusuran penduduk di tanah merah. Kini sudah jadi perumahan elit.

Jika musim kemarau, saya dan baba serta para tetangga yang kebetulan tidak bekerja mencari ikan di rawa-rawa podomoro, sunter dekat pabrik es atau pabrik pulpen Pilot. Asyik, dan menjadi kenangan yang luar biasa. Jarang sekali banjir karena air mengalir ke rawa-rawa tersebut.

Pernah banjir besar tahun 80-an, sampai saya dan keluarga mengungsi ke kodam (kini sudah digusur jadi jalan tol). Tetapi seingatku cuma itu banjir yang sangat besar dan tidak pernah terjadi lagi. Saya masih SD.

Tapi coba lihat sekarang, banjir tiap tahun selalu besar mengakibatkan korban tewas dan sakit yang banyak dan bermacam-macam. Sudah dalam kesusahan, oknum pemda atau apalah mengkorupsi dana banjir, mengambil jatah sumbangan makanan dan pakaian. Belum lagi rumah sakit yang menolak korban banjir dengan alasan beragam. Ibukota cermin bangsa, mau dikemanakan bangsa ini kalau saja hal seperti ini terus berlanjut.

Dari maslah banjir akhirnya merambat pasti pada masalah lain, ekonomi terutama, sosial dan politik. Jakarta akankah terbebas dari banjir?

Dodol Betawi

Jika ditanya pada penduduk asli Bekasi, “Apa penganan di Bekasi yang identik dengan Lebaran ?”, Dodol Betawi mungkin akan menjadi jawaban paling populer. Meski Bekasi merupakan salah satu kabupaten dan kota dari Jawa Barat, pengaruh Betawi terhadap kebudayaan di Bekasi sangat kental terasa. Hal ini lebih diperkuat dengan banyaknya penduduk Bekasi yang memiliki keterkaitan dengan Jakarta. Dodol Betawi menjadi sangat istimewa karena berbagai sebab. Beberapa diantaranya adalah karena :

  1. Hanya muncul diwaktu tertentu, diantaranya waktu Lebaran atau saat ada hajatan (pernikahan, khitanan / sunatan) dan event khusus lainnya. Pada beberapa tempat, dodol Betawi disebut sebagai kue raja karena keistimewaan yang dimilikinya.
  2. Waktu pembuatan yang relatif lama. Dodol Betawi dibuat dari air santan kelapa yang dicampur dengan beras ketan dan gula yang dimasak didalam kuali besar dari tembaga (kenceng). Waktu memasak lebih kurang 6 jam.
  3. Ketersediaan Alat. Tidak banyak orang Bekasi atau orang Betawi asli yang memiliki kuali besar dari tembaga alias kenceng. Selain harganya cukup mahal, penggunaannya hanya pada waktu tertentu sehingga tidak ekonomis jika tidak dibuat dalam produksi yang kontinyu.
  4. Kesabaran. Membuat Dodol Betawi membutuhkan kesabaran ekstra. Saat keluarga saya membuat Dodol Betawi untuk Lebaran, ada cukup banyak aturan yang harus dipenuhi jika ingin dodol yang dihasilkan memiliki kualitas prima. Beberapa aturan tersebut antara lain :

    • Harus dimasak dengan api kecil. Api yang besar akan membuat dodol terlalu cepat matang tapi tidak sempurna
    • Tidak menggunakan gas atau kompor minyak tanah. Memasak dodol Betawi harus menggunakan kayu bakar (dalam beberapa kejadian malah menggunakan blarak alias daun kelapa kering / pelepahnya). Jika menggunakan gas atau minyak tanah, rasanya menjadi tidak enak
    • Harus diaduk secara merata dan kontinyu. Jika pengadukan tidak merata, dodol tidak matang sempurna, demikian halnya jika tidak diaduk secara kontinyu. Bayangkan jika anda harus mengaduk tanpa berhenti selama 6 jam. Menjelang masak, dodol akan semakin lengket yang membuat pengadukan menjadi tambah sulit dan berat :-).
    • Tidak boleh bicara sembarangan. Bicara kotor, baik dalam arti harfiah maupun arti kiasan dipercaya akan membuat rasa dodol menjadi tidak enak. Dari sisi ilmiah, hal ini untuk menjaga agar konsentrasi tetap pada pembuatan dodol, bukan yang lain.
    • Pengadukan harus pelan, tidak boleh terlalu cepat atau menggebu-gebu. Jika diaduk cepat-cepat, pengaduk akan cepat lelah dan dodol menjadi tidak merata kematangannya.
  5. Tidak semua penduduk asli Bekasi memiliki kepandaian dan kemampuan membuat dodol. Kepandaian dan kemampuan membuat dodol Betawi biasanya didapatkan secara turun temurun. Meski bisa saja dipelajari oleh orang lain, kontinuitas akan menentukan bertahan atau tidaknya seseorang membuat dodol Betawi secara rutin. Banyak orang yang memilih alternatif untuk membeli jadi, bukan membuatnya.

 dodol-betawi1.gifart61.jpg

Selain dodol Betawi, ada beberapa penganan asli Bekasi yang biasanya mewarnai kue-kue yang disediakan untuk para tamu yang datang berkunjung, diantaranya :

  1. Kue Akar Kelapa. Sebagian orang Bekasi menyebutnya sebagai kue Procot. Dinamakan kue akar kelapa karena bentuknya mirip akar kelapa. Dinamakan sebagai kue Procot karena saat digoreng, adonan di procotkan atau dikeluarkan secara perlahan menggunakan tabung yang sudah dilubangi dibagian ujung.
  2. Kue Rengginang. Kue Rengginang dibuat dari beras yang setelah diolah kemudian dijemur diterik matahari dan digoreng hingga mengembang. Ada 2 pilihan rasa, yaitu Rengginang manis dan Rengginang Asin
  3. Kue Sagon. Kue ini dibuat dari tepung yang diberi rasa manis dan kemudian digarang (seperti disangrai) diatas bara api. Bentuk kue tergantung pada cetakan, bisa berbentuk oval, lingkaran, bergerigi maupun bentuk lainnya.
  4. Kue Geplak. Kue ini mirip seperti kue Sagon, namun biasanya disertai kelapa, dibentuk jajaran genjang dan rasanya manis. Kue geplak tidak digarang diatas bara api.
  5. Kue Duit. Sesuai namanya, kue duit dibuat dari tepung yang dibentuk seperti uang logam. Setelah dijemur diterik matahari, kue duit digoreng sehingga gurih dan menjadi penganan yang makan seperti halnya makan emping. Kue Duit kadang dibubuhi tepung gula agar terasa manis.

Ada beberapa kue khas Bekasi-Betawi lainnya namun kue-kue diatas cukup mewakili kue khas Lebaran. Adalah kebetulan bahwa orang tua penulis memiliki kemampuan membuat kue-kue diatas dan memiliki alat seperti kuali tembaga besar (kenceng) sehingga bisa membuatnya kapan saja. Mau mencobanya ? Masim “Vavai” Sugianto Catatan : Ilustrasi gambar dari Harian Pikiran Rakyat mycityblogging.com

Rumah Betawi

“MASYARAKAT Betawi tergolong masyarakat rawa. Itu sebabnya mereka mengenal model rumah panggung,” kata Ridwan Saidi, tokoh Betawi yang sedang menyiapkan peluncuran buku riset sejarah garapannya: Babad Tanah Betawi.Namun, Ketua Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (PPBB) Agus Asenie Dipl Ing, praktisi arsitektur berpendapat, masyarakat Betawi sebenarnya tinggal di habitat yang beragam, sejak pesisir hingga pedalaman. Bahkan, sekarang juga tinggal di wilayah urban padat penduduk di tengah Kota Jakarta.

“Sehingga rumah panggung bukan satu-satunya sistem rumah tradisionilnya. Arsitektur rumah Betawi juga mengenal rumah darat. Jadi memang ada variasi pola arsitektur rumah sesuai dengan rentang sebaran komunitas Betawi dari pesisir yang mencari nafkah sebagai nelayan hingga pedalaman yang bercocok tanam padi sawah,” kata Agus, putra Betawi juga, asal Slipi.

rumah-betawi.jpg

Dua tahun terakhir Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI melalui Tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang dipimpin Agus Asenie melaksanakan proyek pemugaran sebuah rumah tradisional dan pembuatan rumah baru berarsitektur tradisional Betaw

i di kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Ini satu bagian kecil saja dari rencana proyek berjangka multi tahun di atas lahan 165 Ha, yang tidak saja bertujuan mengkonservasi arsitektur tradisional Betawi di kawasan itu, tapi juga berusaha membuat daerah tujuan wisata baru di selatan Jakarta. Lokasinya ideal karena adanya Danau Setu Babakan, berudara sejuk (24-26 derajad Celsius), berkontur (naik turun), dan sudah dihuni oleh komunitas Betawi yang masih lumayan mengukuhi adatnya.

Setiap Sabtu dan Minggu, di panggung berarsitektur Betawi yang dibikin oleh Tim

PPBB sudah rutin berlangsung atraksi wisata seperti tari ondel-ondel juga upacara adat seperti perkawinan dan khitanan, yang sudah mulai dikunjungi turis manca negara. Tahun lalu jumlah pengunjung sudah mencapai 10.000 orang, dengan salah satu daya tarik utama sebuah situs rumah tradisional Betawi yang dipugar PPBB milik warga setempat bernama Pak Samin Jebul (60).

MENURUT hitungan kasar Ridwan Saidi, saat ini ada tak kurang dari 3.000 rumah berarsitektur tradisional Betawi di kawasan hunian komunitas Betawi, sejak kawasan Pulau Seribu di utara, hingga Cileungsi di selatan, sejak Balaraja (Tangerang) di barat sampai Cikarang (Bekasi) di timur.

Sebegitu jauh, baik Ridwan Saidi maupun Agus Asenie mengutarakan, belum ada sumber sekunder yang berasal dari kalangan akademik tentang arsitektur rumah Betawi. Tidak ada primbon atau pustaka klasik yang berisi kodifikasi arsitektur Betawi, sehingga Ridwan mengaku harus meraba sendiri ciri khas arsitektur rumah

Betawi ini ketika meneliti, seraya dibandingkan dengan arsitektur rumah tradisional suku lain. Misalnya, bahwa masyarakat Betawi tidak mengenal fengshui, hukum arah angin sebagaimana masyarakat Tionghoa.

“Betawi pada awalnya adalah masyarakat river basin. Mereka membangun masyarakat berkelompok sepanjang sungai-sungai di kawasan ini. Ada belasan sungai besar di kawasan ini. Pintu depan rumah menghadap ke arah sungai. Akibatnya, setelah perlahan-lahan rumah Betawi masuk ke pedalaman, arah hadap rumah Betawi tidak teratur seperti rumah di Jawa yang berjajar menghadap jalan. Tetapi, sisa-sisa budaya DAS-nya masih tertinggal, biasanya dalam bentuk adanya sumur gali di depan rumah. Anda ingat Mandra atau Basuki di serial Si Doel kalau mandi di sumur di depan rumah mereka,” katanya.

Sekarang ini, terkena budaya kontemporer yang membataskan jumlah lahan yang kian menuntut pola arsitektur compact (ringkas), kata Agus, sumur depan rumah sudah kian hilang. Digantikan pompa-pompa listrik yang dipasang di belakang rumah.

Pada dasarnya ada tiga zoning di rumah tradisional Betawi, kata Ridwan Saidi. Kurang lebih mengikuti hukum arsitektur modern juga, kawasan publik (ruang tamu), kawasan privat (ruang tengah dan kamar) dan kawasan servis (dapur), tambah Agus. Dalam bahasa Betawi, kawasan publik yang berupa ruang tanpa dinding ini kawasan amben, disusul ruang tengah yang didalamnya ada kamar yakni wilayah pangkeng. Paling belakang adalah dapur atau srondoyan.

Masing-masing kawasan ini bisa merupakan bangunan sendiri, dengan pola atap sendiri. Bisa pula satu rumah utuh dengan sebuah saja pola atap, yang terbagi dalam tiga zona tadi. Variasi ini ditentukan status sosial ekonomi penghuninya. Jika setiap zona punya satu pola atap, masing-masing bisa berupa salah satu dari model atap pelana (segitiga sama sisi), atau limas dengan dua kali “terjunan” air hujan yang sudutnya berbeda. Atau lagi kombinasi dari kedua sistem atap ini.

Pilihan pola atap menurut Ridwan Saidi, tampaknya tidak terlalu menjadi tuntutan dalam arsitektur tradisional Betawi. Tidak seperti di Jawa yang sampai perlu ada selamatan khusus untuk itu. Bagi komunitas Betawi yang penting justru pembangunan pondasi rumah. Itu sebabnya, mereka mengenal selamatan “sedekah rata bumi”. Hanya saja, sambung Ridwan, selamatan ini dilakukan sesaat setelah kuda-kuda atap rumah sudah sempurna berdiri.

RIDWAN mencatat ada sebuah sudut penting, bahkan sakral dalam arsitektur Betawi. Yakni, konstruksi tangga, yang diistilahkan balaksuji. Sayangnya ini agak sulit ditemukan di rumah Betawi bukan panggung. Balaksuji adalah konstruksi tangga di rumah panggung Betawi. Rumah darat kadang-kadang juga punya, jika lantaran “kultur rumah panggung”, membuat pemilik rumah sengaja meninggikan lantai rumahnya dari permukaan tanah sekitar. Pada kasus demikian pemilik rumah juga membuat balaksuji, tangga menuju rumah.

Tak ada konfirmasi literer soal ini. Hanya saja Ridwan menjelaskan, inilah (boleh jadi) arti harafiah dari istilah “rumah tangga” yang dikenal selama ini.

“Sebuah keluarga yang utuh tinggal di rumah yang ada tangganya. Makanya, bernama rumah tangga. Tangga balaksuji ini bagian rumah yang sarat nilai filosofi. Bisa disamakan dengan tangga spiritual dalam tradisi Betawi. Mungkin bisa diidentikkan dengan prinsip tangga dalam arsitektur kebudayaan lain, seperti Borobudur, atau suku kuno Inca. Bahwa memasuki rumah lewat tangga adalah proses menuju kesucian. Idealnya jika ada sumur di depan rumah, siapa pun yang hendak masuk rumah harus membasuh kakinya dulu, baru naik tangga, sehingga masuk rumah dalam keadaan bersih. Ini memang bukan soal fungsi, tapi perlambang,” katanya.

Di rumah modern yang dihuni masyarakat Betawi sekarang, banyak hal sudah hilang, termasuk tangga balaksuji ini. Hanya saja, kata Ridwan, di sejumlah kampung balaksuji dipertahankan, atau pindah lokasi. Tangga ini tidak ada di rumah penduduk, tapi ada di masjid kampung. Balaksuji dipasang di tempat khotib berkhotbah. Tangga ini menjadi tangga menuju mimbar. Kesuciannya dipertahankan di rumah ibadah. (ody) Sumber: Harian Kompas, Minggu, 21 April 2002

Hidangan Betawi : Kue Pancong

People said that this kind of snack is kue pancong in Jakarta. Rangin is a baked-traditional snack, made of rice flour, young coconut and some of them spread sugar flour or chocolate or cheese on their top to make them more delicious.

kue_pancong.jpg

Bahan :

  • 250 gr kelapa parut setengah tua
  • 250 gr tepung beras
  • 1 sdt garam
  • 600 ml santan
  • 1 lembar keju lembaran diiris kecil

Cara Membuat :

  1. Campur kelapa parut dengan tepung beras dan garam, aduk rata.
  2. Masukkan santan yang telah direbus sedikit demi sedikit hingga habis sambil diuleni.
  3. Panaskan cetakan kue pancong, masukkan adonan kue pancong ke dalam cetakan, beri irisan keju slice lalu tutup.
  4. Setelah masak, angkat
  5. Hidangkan.
  6. Untuk variasi hiasan bagian atas (topping), selain keju irisan dapat juga diberi coklat, kismis, nangka, ayam giling bumbu opor, dan lain-lain.

Tak Seindah Gadis Betawi

Karena terlalu sering nonton sinetron Betawi dengan bintang-bintang cantiknya, seorang kawan saya punya obsesi untuk menyunting seorang gadis Betawi. Setelah melempar jaring ke semua penjuru angin, akhirnya ia dapatkan juga seorang gadis asli Betawi sebut saja namanya Ifah berpostur tinggi semampai, dan wajahnya bisa disejajarkan dengan Nova Eliza- pemeran Jamilah dalam sinetron Betawi Jamilah Binti Selangit.

Tetapi, kawan saya itu kaget ketika bertandang ke rumah orang tua sang gadis. Rumah mereka hanya sepetak kecil di gang sempit di kawasan Cileduk, Tangerang. Sementara, sang ayah harus berjibaku menjadi penjual tanaman hias di pinggir Jalan TB Simatupang, dan sang ibu terpaksa menjadi pembantu rumah tangga di sebuah perumahan elit tak jauh dari rumahnya. Sedangkan Ifah, selain menjadi mahasiswi sebuah PTS, juga menjalani hidup sebagai penyanyi dangdut di panggung-panggung hajatan untuk menambah uang saku dan biaya sekolah adik-adiknya.

Nasib kebanyakan warga Betawi memang tidak seindah wajah gadis-gadis mereka dalam sinetron. Kehidupan sehari-hari mereka kini juga tidak seromantis kehidupan Betawi dalam imaji para penulis skenario dan sutradara sinema-sinema Betawi, yang umumnya menggambarkan masyarakat Betawi dalam kekentalan kulturnya. Keluarga Ifah hanyalah salah satu contoh keluarga Betawi yang ‘terpinggirkan’ di kampung halamannya sendiri. Seperti juga banyak keluarga Betawi yang lain, mereka lahir dan dibesarkan di tanah Betawi (Jakarta) tapi tidak lagi memiliki tanah Betawi, karena telah dijual kepada para urban (pendatang).

Akibat rendahnya rata-rata kualitas SDM dan kurangnya militansi mereka, warga Betawi tidak hanya terpinggirkan secara geografis, tapi juga secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ibaratnya, kalau kita hendak mencari budaya Betawi di Jakarta, layaknya mencari seuntai kalung di tengah belukar yang begitu lebat. Ondel-ondel telah lenyap di belukar peradaban Jakarta dan hanya sesekali muncul dalam sosok pengamen dari pintu ke pintu. Begitu juga lenong, tinggal hidup di pinggiran dan sesekali muncul di layar televisi. Sedangkan yang mendominasi kampung halaman orang Betawi (Jakarta) saat ini adalah budaya metropolis, urban-industrial, yang serba gemerlap dan sekuler, serta sama sekali tidak menampakkan kearifan budaya Betawi yang religius dan egaliter.

Dalam realitas yang terpinggirkan itulah kemudian Betawi seperti menemukan lahan untuk bereinkarnasi di layar televisi. Dimulai dari Si Doel Anak Sekolahan yang sukses di layar kaca dengan empat seri dan ratusan episod, dan Lenong Bocah dalam puluhan episod di TPI, wajah Betawi yang terpinggirkan dalam realitas seperti lahir kembali di layar kaca. Ratusan sinetron Betawi pun digarap dan ditayangkan berbagai stasiun televisi, menjadi komoditas hiburan yang laris dan rata-rata berating tinggi. Bintang-bintang sinetron Betawi pun berlahiran, sejak Rano Karno sampai Mandra, sejak ‘si Emak’ Nani Wijaya sampai Cornelia Agatha, Maudy Koesnaedi dan Nova Eliza. Mereka, juga para produsernya, menangguk popularitas dan rejeki melimpah dari sinetron Betawi.

Tetapi, keindahan dan keberkahan itu agaknya tidak terjadi dalam kehidupan masyarakat Betawi yang sesungguhnya. Di layar kaca, Si Doel memang sukses membela citra orang Betawi, yang semula mendapat stigma sebagai terbelakang dan ‘kurang makan sekolahan’ menjadi terpelajar dan sukses dalam karir. Tetapi, pembelaan Si Doel itu tidak cukup mengubah nasib masyarakat Betawi yang tetap saja terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta tetap terkesan terbelakang.

Di luar sinetron, para pecinta budaya Betawi, seperti Benyamin S dan Ridwan Saidi, juga melakukan pembelaan yang tidak kalah gigihnya. Tetapi, kekuatan perubahan dalam proses urbanisasi di tanah Betawi tidak gampang disiasati begitu saja. Bahkan, untuk memiliki Pusat Budaya Betawi saja mereka belum berhasil. Sementara, situs Betawi di Condet ‘tergusur’ dan situs penggantinya di Situ Babakan juga kurang tergarap. Orang-orang daerah yang berwisata ke Jakarta, misalnya, saat ini selain sulit menonton pertunjukan seni Betawi, juga susah untuk menemukan oleh-oleh khas Betawi, baik berupa makanan kemasan maupun cenderamata.

Setelah agak surut pasca-Si Doel, belakangan sinetron Betawi juga marak lagi di televisi. Sebuta saja, misalnya, Julia Jadi Anak Gedongan, Kecil-kecil Jadi Manten, Bule Betawi, Jamilah Binti Selangit, dan Duk Duk Mong. Ratingnya rata-rata juga cukup tinggi. Seri sinetron Betawi, Bajay Bajuri, dengan bintang Nani Wijaya (Emak), Mat Solar (Bajuri), dan Oneng (Rieke Diah Pitaloka), juga menuai sukses sampai ratusan episod. Betawi seperti kembali menemukan reinkarnasinya di layar kaca.

Tapi, lagi-lagi, keindahan dan romantisme Betawi itu hanya ada dalam sinetron, sehingga keberkahannya hanya dapat dinikmati oleh para bintang dan produsernya. Kearifan dan kemurahan hati masyarakat Betawi, dengan karakter bahasa dan perilakunya yang sering jenaka, agaknya lebih memberi berkah kepada para bintang dan pebisnis sinetron, daripada warganya sendiri. (Ahmadun Yosi Herfanda
Wartawan dan pengamat mediaRepublika, Minggu, 08 Mei 2005)

Getting around Jakarta

Taxis

180px-limoncp42taxi.jpg

Jakarta taxis are more colorful than the bright yellow cabs of Manhattan; they come in such a great variety and can become a source of confusion. You’ll be surprised with all colorful taxis swarming in this city? There are regular taxis and also exclusive ones for those who seek convenience. The stylish and elegant taxis are usually black sedans with 3000 CC engine. This exclusive taxi doesn’t look much like a taxi. Take this taxi and have a very smooth ride.Overslept guaranteed!

Limousine
If your standard of luxury equals to Holywood movie stars, a limousine service is ready for you. The limos feature a range of standard and luxury cars. They are the latest models of Japanese and European luxury cars. Stretch limousines are also available with or without driver. If you have no objection to splurging money, this is the best means of transportation you can use.

Or for the adventurous among you, there is always public transportation like:

Buses
busway41.jpg

Buses are the primary means of public transportation in Jakarta. Big Mercedes Benzes span the metropolitan Jakarta, taking you from one main hub to another way across town, while spewing toxic through their tail pipes. On some, the PATAS, you would actually be able to enjoy the comfort of air-condition and a high probability of getting a seat. On the regular DAMRI, consider yourself lucky if you can get a seat. When you do, remember to get up and inch towards the exit amidst the sea of people at least 5 minutes before your stop. Fare does not depend on distance.

On the executive bus, Busway, you enjoyned this bus to around Jakarta. Busway have XI corido. Firts Coridor: Blok M – Kota (Old Jakarta City), Second Coridor : Pulogadung – Kota, 3rd Coridor : Kampung Rambutan – Kampung Melayu, 4th Coridor : Kampung Melayu – Harmoni, 5th Coridor : Manggarai – Kuningan, 6th Coridor : Ragunan (Zoo Garden) – Kuningan, 7th Coridor : Senen – Grogol, 8th coridor : Cililitan – Tanjung Priok, 9th coridor : Lebak Bulus – Grogol

Metro Mini
metromini.jpg If you think that this is a smaller version of whatever nice image you have concocted in your head when you hear the word “Metro”, think again. These bright orange beasts roam the streets of Jakarta. Warning: if you are 5’11” or taller, there is exactly one seat in the bus where you can sit – back row, middle seat, facing the isle – and there is no chance for you to be able to stand up straight.

Despite all of these, they are quite effective in getting you from point A to point B, and, whether you like it or not, in getting you to know the warmth of Jakarta and its people along the way as you rub shoulders, backs, and step on other people’s toes or getting stepped on.

Mikrolet
angkot.jpg An even smaller version of public transport. Not as romantic as the bemo of Bali, it is typically a modified van that can carry up to 10-12 passengers. Mikrolet can take you to the remotest corners of Jakarta.

Ojek
Ojek Sepeda



The last one in the chain is probably Ojek. Ojeks usually park in front of small alleys (gang) that can have thousands of residencies inside. There is no chance for a taxi or a car to get into these alleys, and the distance maybe to far to walk it. So, Ojek – a motorcycle complete with its driver for hire – comes to the rescue..

Becak
workbike-becak.jpg

Becaks (or trikshaw) used to be ubiquitous in Jakarta. They are basically bicycle with an attached 2-passanger carriage attached in front of it (or on its side if you are in Medan). Several years back, becaks are banned from the city, and they now have become home to various kinds of fish up north by the Pulau Seribu (Thousand Islands). Oh, the romance of sitting together in a becak with your loved one, maybe with a slight drizzle, is no doubt part of the memory of lots of the thirty-something people of Jakarta. What is left now is a variant of becak called Bajaj, a Vespa (think of it as a fat-bottomed motorcycle, if you don’t know what a Vespa is) derivative with an attached carriage. Their obnoxious bright orange color, and distinctive, ear piercing rattle, will accompany you along your ride in the constantly vibrating vehicle.

So, how would a well-seasoned traveler or a native use the public transport system in Jakarta? Quite romantic, really. Say you start from around Istana Negara, the Presidential Palace, and you want to go way down south to Cinere and beyond. You can take a comfortable, air-conditioned PATAS bus to blok M, hop into a Metro Mini (number 69 if I’m not mistaken) to take you to Pondok Labu, continue with a Mikrolet to Cinere, and for the last hop of your trip, say you are visiting a friend somewhere in the various housing complexes around the area, an Ojek (I wonder if the name is really a derivative of “Oh, Jack” – the kind of reaction that should not be uncommon when you ride these motorcycles on barely-paved roads) will complete your trip. Total time? Two hours would not be too stretching if you count the transfer time. But hey, we are talking romance, not efficiency, right?

Getting away

Despite all the excitement of Jakarta, pretty soon you might have to leave it – maybe just for a short trip to Bogor or to Bandung. You can also catch a train to Semarang,Yogya, Surabya or any other city in Java. To Bogor, you can use the Pakuan and to Bandung, you can take the Argo Gede or the Parahyangan. The Parahyangan, an old reliable train to Bandung, is an old favorite of mine (they have a newer and faster one running right now). Four hours, just perfect to recoil and recap from all your hectic pace in Jakarta, and enjoy the green scenery along the route, sometimes over deep ravines and gorges. Maybe because I tend to travel during hungry hours, I also find the Parahyangan’s “Nasi Goreng Telor Mata Sapi” (Fried rice with a sunny-side up) combined with iced-tea to be such a delicious experience. Give it a try…!

To get away from Java completely, be it north to Sumatera or Kalimantan, or east to Bali, Sulawesi, or even as far as Irian. Within Java, or even as far as Sumatera or Bali, you can easily hop on to a bus. Bus rides to Sumatera can be very comfortable. Island hopping is best done by airplane. Garuda, Merpati, and Bouraq are the four major domestic carriers. Garuda serves the primary cities (and international destinations) as well as Merpati and Bouraq have their own niche. If you want to fly direct from Bandung to Denpasar, for example, you have to use Merpati. Using Garuda, you must have a stop over either in Jakarta or in Surabaya.

Choosing a means of transportation in Jakarta is sometimes quite confusing; just like playing chess. I have done my first move by explaining all means of transportation in Jakarta. Now, what is your move? Experiencing my story yourself?! www.indo.com